Multatuli, Pembongkar Kejahatan atau Seorang yang Nyinyir?

Ajang debat tentang Multatuli yang tak banyak membahas dampaknya bagi Indonesia. Terkesan sangat Belanda-sentris.

MULTATULI telah memberikan landasan bagi sosialisme di Belanda sebagaima yang ditempuh oleh Peter Jeles Troeltsra, pendiri Partai Buruh Sosialis-Demokrat Belanda, demikian menurut penulis biografi Multatuli Dik van der Meulen dalam simposium mengenai Multatuli, Sabtu, 7 November kemarin di Amsterdam.

“Dia juga telah menjadi dasar bagi pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, yang membuka kesempatan pendidikan bagi warga bumiputera,” kata Dik dalam simposium bertajuk “Klokkenluider of querulant? Multatuli en andere klokkenluiders” (“Pembongkar kejahatan atau pengumpat? Multatuli dan para pembongkar kejahatan lainnya”) itu.

Simposium yang diselenggarakan Multatuli Genootschap (Perhimpunan Multatuli) Belanda itu berangkat dari pertanyaan apakah penulis roman Max Havelaar itu seorang pembuka kontak pandora kejahatan Belanda di Hindia atau hanya seorang pengumpat (querulant). Bahkan mengemuka pula tuduhan kepadanya sebagai seorang penghianat.

Menurut Philip Vermoortel, guru besar dari Universitas Brussel, Belgia, Multatuli sama sekali bukanlah seorang pembongkar kejahatan. “Dia hanyalah seseorang yang ingin semua hal berjalan dengan baik dan orang bekerja sebagaimana mestinya,” kata Vermoortel mengomentari apa yang dilakukan Multatuli ketika berada di Hindia Belanda.

Setelah menempuh berbagai penugasan di Manado dan Natal, Sumatera Utara, Eduard Douwes Dekker mulai bertugas sebagai asisten residen di Rangkasbitung, Lebak, Januari 1856. Tiga bulan bertugas di Lebak, dia mendapat laporan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh bupati Lebak RAA Karta Natanagara. Laporan Dekker kepada Residen Banten Brest van Kempen tak ditanggapi malah menyebabkan pemecatannya sebagai asisten residen Lebak.

Ketika kembali ke Eropa, pada 1859 Dekker mengurung dirinya dalam sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, menuliskan riwayat pengalamannya semasa bertugas di Hindia Belanda. Di bawah nama samaran Multatuli, dia mengungkapkan bagaimana pemerintah kolonial menjalankan sistem penidasan bagi rakyat Jawa. Novel Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi di Hindia Belanda terbit perdana pada 1860, dianggap sebagai pembuka aib penjajahan Belanda di Indonesia, sekaligus tonggak kesusasteraan modern di Belanda.

Sumber : Bonnie Triyana

Jam Kunjungan

08.00-16.00 WIB, Sabtu-Minggu sampai 15.00 WIB. Senin dan Libur Nasional Tutup

Museum Location

Jl. Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten.