Max Havelaar, Multatuli, dan Eduard Douwes Dekker; tiga nama yang saling berkaitan tetapi memiliki maknanya masing-masing. Bagi sebagian orang, Max Havelaar mung-kin lebih dikenal sebagai judul sekaligus karakter sebuah novel karya seorang penulis Belanda bernama Multatuli. Meskipun demikian, orang yang hanya mengetahui judul, membaca ringkasan, atau bahkan membaca Max Havelaar tanpa mencari tahu lebih lanjut soal latar belakang novel tersebut mungkin tidak akan mengerti bahwa ada hubungan lebih dalam antara sang penulis dengan karakter ciptaannya itu.
Tidak ada keraguan bahwa Max Havelaar yang ditulis Multatuli sebagai sebuah fiksi adalah gambaran (sebagian) cerita hidupnya sendiri. Dengan demikian, tokoh Max Havelaar merupakan karakterisasi Multatuli di dalam novel. Cerita-cerita yang dihadirkan dalam novel tersebut dapat dianggap sebagai pengalaman pribadi Multatuli yang telah diromantisasi dalam tingkatan tertentu. Namun, siapakah Multatuli sebenarnya?
Multatuli (yang berarti ‘aku telah banyak menderita’ dalam bahasa Latin) sejatinya adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Ia adalah seorang mantan pegawai pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang kemudian beralih profesi menjadi penulis. Pengalamannya sebagai pegawai pemerintah, tepatnya sebagai asisten residen di Lebak, Banten, selama beberapa bulan itulah yang menjadi inspirasi cerita Max Havelaar yang masyhur.
Di sebuah rumah di Korsjespoortsteeg, Amsterdam, pada 2 Maret 1820, Eduard Douwes Dekker lahir sebagai anak keempat dari pasangan Engel Dekker dan Sytske Eeltjes Klein. Ayahnya merupakan seorang pelaut, sementara keluarganya bukanlah keluarga yang terlalu berada. Saat kecil, keluarga Dekker hidup berpindah-pindah rumah. Eduard kecil sebagai anak yang cerdas, tetapi sering dimarahi oleh sang ibu karena dianggap bersikap terlalu “lembut”. Untuk menunjukkan bahwa ia tidak seperti anggapan ibunya, ia kemudian bersikap agresif, gelisah, tidak pernah diam, dan selalu menimbulkan kerepotan.
Dekker muda pertama kali merantau ke Batavia di usia 18 tahun. Di akhir tahun 1838, ia ikut kapal Dorothea yang dinakhodai oleh ayahnya. Kapal itu tiba di Batavia pada 4 Januari 1839. Tidak lama kemudian, Dekker mendapat pekerjaan sebagai klerk (juru tulis) di Algemeene Rekenkamer (Dewan Pengawas Keuangan) dengan gaji f. 80 sebulan.
Gambar di samping merupakan akta penerimaan/izin tinggal Dekker di Hindia-Belanda. Isinya menyatakan: "Setelah melihat permintaan Eduard Douwes Dekker, lahir di Amsterdam, umur sembilan belas tahun, bersama dengan dokumen-dokumen yang menyertainya, membuktikan bahwa ia memiliki persyaratan untuk diterima sebagai penduduk tetap, memberinya izin untuk tinggal di Hindia-Belanda, tunduk pada ketentuan penerbitan Izin Tinggal 10 Januari 1834, tunduk pada sumpah setia kepada Yang Mulia Raja Belanda dan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, serta tunduk pada hukum dan peraturan yang ada sekarang atau yang akan datang. Diberikan di bawah tanda tangan dan materai di Buitenzorg pada tanggal 28 Maret tahun seribu delapan ratus tiga puluh sembilan.”
Pada 1842 Dekker melamar jabatan sebagai kontrolir di Sumatra Barat dan lamarannya diterima. Ia kemudian pergi ke Padang dan bertemu dengan residen Sumatra Barat, Kolonel Mischiels. Dari Sana, Dekker dikirim ke Natal, sebuah kota kecil di pesisir barat Sumatra. Dekker muda tampak tidak mengalami kesulitan berarti dalam tugasnya sebagai pegawai pemerintah di daerah terpencil. Di tempat ini ia bahkan menghasilkan karya pertamanya, yang berjudul 'Losse Bladen uit het Dagboek van een Oud Man' (Halaman-halaman lepas dari buku harian seorang lelaki tua). Namun, tidak lama kemudian, karena masalah keuangan, Dekker berkonflik dengan Kolonel Michiels dan dibebastugaskan dari jabatannya.
Dekker kembali dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah pada pertengahan September 1845. Saat itu ia ditugaskan di Purwakarta yang merupakan wilayah Karesidenan Karawang.
Tidak lama setelah mendapatkan tugas di Purwakarta, pada 26 September 1845 Dekker bertunangan dengan Everdina Huberta (Tine) van Wijnbergen, salah satu anak dari Carel van Wijnbergen. Pasangan itu mencatatakan pernikahan mereka pada 8 April 1846 di Batavia, sementara itu upacara pernikahan dilaksanakan dua hari kemudian di Cianjur. Hanya berselang sebulan, pasangan baru tersebut harus pindah ke Bagelen, Jawa Tengah, karena Dekker mendapat promosi jabatan.
Setelah menikah, karier Dekker menjadi lebih baik. Mantan atasannya di Algemeene Rekenkamer, Rulofss, teru memuji-muji kinerja Dekker sewaktu dulu dan diam-diam membantunya menyelesaikan masalah keuangan yang ia hadapi di Natal. Selain itu, Residen Bagelen sebagai atasan baru Dekker juga memujinya sebagai orang yang berkelakuan dan bercara hidup baik, pandai dalam banyak hal, rajin, hormat, tapi bersikap bebas. Pujian dari atasan tersebut kemungkinan besar berpengaruh pada penunjukan Dekker sebagai sekretaris residen di Manado dua tahun kemudian.
Di Manado, kehidupan Dekker dan istrinya tergolong sangat baik. Residen Manado, Scherius, sangat menyukai kinerja Dekker sehingga mengusulkan kepada pemerintah untuk mengangkat Dekker sebagai penggantinya. Sayangnya, pemerintah kolonial mengabaikan usul itu dan justru menunjuk C. P. Brest van Kempen--yang nantinya akan menjadi atasan Dekker di Banten--sebagai residen Manado baru. Sementara itu, Dekker dipindahtugaskan ke Ambon dengan jabatan asisten residen.
Walaupun awalnya menikmati perkerjaan sebagai asisten residen di Ambon, Dekker ternyata kemudiam merasa tidak betah tinggal di sana. Kesehatannya menurun setelah beberapa bulan tinggal di sana. Ia lantas mengajukan cuti ke Eropa.
Dekker pergi dari Hindia-Belanda menuju Eropa pada 24 Juli 1852. Seharusnya pasangan itu tinggal di Eropa selama dua tahun masa cuti. Namun, Dekker memperpanjang masa cuti itu mennjadi tiga tahun.
Pada 17 Mei 1855, Dekker dan keluarganya (yang kini bertambah anggota satu orang anak bernama Pieter Jan Constant Eduard, lahir 1 Januari 1854) berlayar ke Batavia dengan kapal bernama 'India'. Mereka tiba pada 10 September 1855.
Ada jarak beberapa bulan sejak kedatangan Dekker di Batavia dan penugasan barunya di Lebak. Dalam kurun waktu itu, Dekker diperkenalkan kepada Gubernur Jenderal Duymaer van Twist oleh E. de Wal, seorang pejabat yang nantinya menjadi Menteri Daerah Jajahan Belanda dan masih memiliki kekerabatan dengan Tine. Dari Perkenalan tersebut, timbullah rasa simpati van Twist terhadap Dekker--sehingga ia mengangkatnya sebagai asisten residen di Lebak saat posisi tersebut kosong. C. E. P. Carolus, asisten residen yang sebelumnya, telah meninggal dunia di rumah sakit militer di Serang pada 1 November 1855. Dekker sendiri tiba di Rangkasbitung, ibukota Lebak, pada 22 Januari 1856.
Gambar di samping adalah akta pengangkatan Dekker sebagai Asisten Residen Lebak. Dalam terjemahan singkat mengatakan: “Berdasarkan surat keputusan (besluit) No. 1 empat Januari seribu delapan ratus lima puluh enam telah diangkat sebagai Asisten Residen Lebak (Banten): E. Douwes Dekker, pekerjaan terakhir sebelumnya, Magistraat di Ambon (Pulau Maluku), kembali dari cuti Belanda.”
Sebelum tiba di Rangkasbitung, Dekker sudah mengetahui bahwa penduduk daerah itu miskin. Terlebih lagi, ada kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bupati dan keluarganya terhadap rakyat di Lebak. Ia juga membaca laporan Carolus dan pendahulunya, serta segera mengetahui bahwa bupati melakukan pemerasan serta kejahatan-kejahatan lain kepada penduduk. Dekker juga mulai mengumpulkan pengaduan dari penduduk secara langsung dengan dibantu seorang jaksa—sebab ia tidak bisa berbahasa Melayu pasar maupun Sunda. Dari penyelidikan singkatnya, kecurigaan dan ketidaksukaan Dekker pada Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara, tumbuh.
Pada 12 Februari 1856, baru dua minggu sejak kedatangannya, Dekker mengajukan beberapa pertanyaan tertulis kepada bupati mengenai pekerjaan rodi. Dari komentarnya terhadap jawaban bupati, tampak bahwa Dekker gusar mengenai kerja rodi atau heerendienst yang harus dilakukan oleh penduduk demi kepentingan bupati. Pada pertanyaan Dekker mengenai cara memperoleh pundutan (pemberian wajib dari penduduk kepada bupati), diberikan mengikuti tradisi turun-temurun alih-alih secara sukaela, Dekker menuliskan komentar, "enak juga". Beberapa hari kemudian, sewaktu bupati meminta izin untuk mengerahkan tenaga penduduk untuk membersihkan pekarangan, Dekker menolak dan malah mengirimkan f. 100 kepada bupati.
Meskipun permintaannya telah ditolak oleh Dekker, nyatanya Bupati Lebak tetap menyuruh pekerja untuk membersihkan pekarangan. Hal tersebut dilaporkan oleh kontrolir Lengevelt van Hemert kepada Dekker dalam surat tertanggal 20 Februari. Dekker kemudian menyuruh pekerja-pekerja itu pulang saat pekerjaan baru setengah selesai. Bupati Lebak lantas mengirimi Dekker surat untuk protes dan bertanya, “apakah pekerjaan bisa diteruskan, karena pekerja-pekerja sudah ada?” Pembersihan pekarangan itu dalam rangka menyambut kedatangan Bupati Cianjur, keponakan Bupati Lebak.
Pada 23 Februari, Bupati Cianjur mengirim surat kepada Dekker untuk memberitahukan bahwa ia sedang berada di perjalanan dan ingin menghadap begitu ia tiba. Di saat yang sama, Dekker mendengar dari janda Carolus bahwa ada kemungkinan suaminya meninggal akibat diracun oleh Demang Parungkujang, yang kebetulan adalah salah satu menantu bupati. Fakta-fakta tersebut, ditambah dengan sikap ragu-ragu kontrolir, membuat Dekker mengambil keputusan untuk segera melaporkan kecurigaannya kepada atasannya.
Esok harinya ia mengirim surat kepada residen Brest van Kempen di Serang, mengatakan bahwa:
“....bupati telah menyalahgunakan kekuasaan dengan mempergunakan secara tidak sah tenaga kerja rakyatnya, bahwa ia mencurigainya telah melakukan pemerasan dengan menuntut hasil in natura, tanpa pembayaran atau dengan pembayaran yang tidak cukup dan ditentukan sesuka hatinya dan bahwa ia mencurigai demang Parungkujang ikut bersekongkol dalam kejahatan-kejahatan itu.”
Dekker juga memohon kepada van Kempen agar memberi perintah kepadanya untuk mengirim Bupati Lebak secepatnya ke Serang dan mengusahakan supaya bupati tersebut tidak dapat mempengaruhi saksi-saksi. Selain itu, ia juga meminta agar Demang Parungkujang serta semua orang yang terlibat ditahan sementara dan segera diadakan penyelidikan mengenai hal tersebut.
Masalahnya, surat Dekker itu, bunyinya seperti perintah dari bawahan kepada atasan. Dekker juga tidak mencantumkan alasan-alasan yang mendukung kecurigaannya; pun usulan-usulannya dianggap terlalu berlebihan. Tidak mengherankan apabila Brest van Kempen tidak menyukai surat tersebut; ia membalas pada Dekker bahwa masalah tersebut sebaiknya dirundingkan terlebih dulu dan ia akan pergi ke Rangkasbitung.
Di Rangkasbitung, van Kempen tidak hanya bicara pada Dekker tetapi juga mengunjungi bupati dan memberikan sejumlah uang padanya untuk menyambut kedatangan keponakannya dari Cianjur. Dekker, tentu saja, tidak suka residen memberi uang kepada bupati dan menuduh residen memberikan uang itu untuk mempermalukan dirinya. Pembicaraan antara Dekker dan van Kempen menjadi sia-sia; permasalahan tersebut tetap diajukan ke Gubernur Jenderal Duymaer van Twist.
Jawaban atas permasalahan tersebut datang dari gubernur jenderal yang beranggapan bahwa Dekker adalah seorang pegawai pemerintah yang tidak memiliki kecakapan. Dalam surat tanggal 23 Maret 1856, van Twist menyebut bahwa jabatan pangreh praja tidak cocok bagi Dekker dan oleh sebab itu ia sebaiknya dihentikan dari jabatannya sebagai asisten residen Lebak. Namun, mengingat kinerja baiknya yang lalu, gubernur jenderal tetap mempertahankannya sebagai pegawai pemerintah dan hanya memindahkannya ke Ngawi, lagi-lagi sebagai asisten residen.
Kecewa dengan jawaban dari gubernur jenderal, Dekker memutuskan untuk berhenti dari jabatannya. Ia mengajukan pengunduran diri pada 29 Maret 1856 dan dalam waktu yang sangat singkat, hanya lima hari kemudian, permintaannya disetujui oleh pemerintah. Dekker lantas berkeinginan untuk menemui Duymaer van Twist secara langsung untuk menyampaikan kekecewaannya. Namun, pertemuan yang diharapkan tidak pernah terjadi hingga keberangkatan van Twist ke Belanda pada 14 Mei 1856. Dekker sendiri masih tinggal di Hindia-Belanda sampai awal tahun selanjutnya.
Sementara itu, penyelidikan atas kasus di Lebak masih terus dilanjutkan oleh residen Brest van Kempen. Pada 20 September 1856, van Kempen mengirim hasil penyelidikannya kepada Guber-nur Jenderal Ch. F. Pahud yang menggantikan van Twist. Dari hasil penyelidikan tersebut, pada 11 Desember 1856, Pahud mengeluarkan surat keputusan yang mengatakan bahwa bupati Lebak, Raden Tumenggung Adipati Karta Natanegara, terbukti bersalah “dalam berbagai macam permintaan yang terlarang mengenai tenaga kerja, uang dan kerbau, dengan ganti kerugian yang tidak seimbang atau bahkan tanpa diberi ganti kerugian”. Selain itu, Demang Parungkujang dipecat dari jabatannya karena terbukti telah berulang kali melakukan kesalahan.
Kembali ke Eropa dalam keadaan miskin dan terlunta-lunta, Dekker mendarat di Marseille pada bulan Juni 1857. Ia kemudian menjelajah Prancis dan Jerman sebelum pergi ke Belgia dan menetap di Brussel, di hotel kecil bernama ‘Au Prince Belge’, tempat ia bisa menginap tanpa membayar karena sang pemilik menyukai kerama-han dan sikapnya. Di tempat itu pula, Max Havelaar yang termahsyur itu ditulis. Menurut Hermans, Dekker memperoleh inspirasi dari seorang perempuan bernama Estelle dari Casino, penyanyi tingel-tangel (kedai minum rendahan); Dekker menyebut bahwa ia mendapat inspirasi penulisan Saidjah dan Adinda dari Estelle.
Max Havelaar selesai ditulis pada akhir Oktober 1859, sekitar tiga tahun setelah peristiwa di Lebak yang membuat Dekker kehilangan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah. Butuh waktu beberapa bulan bagi Max Havelaar untuk bisa dibaca dalam terbitan yang layak. Tanggal 14 Mei 1860, buku itu diterbitkan oleh De Ruyter. Sayangnya, saat terbit, hak cipta buku itu bukan berada di tangan Multatuli, melainkan dipegang oleh Jacob van Lennep, seorang pengacara dan pengarang amatir. Akibat perpindahan hak cipta tersebut, Max Havelaar pada awal penerbitannya dicetak sangat sedikit dan dengan harga tinggi. Dekker baru menyadari persebaran Max Havelaar yang tidak begitu bagus sekitar sepuluh hari kemudian.
Max Havelaar ramai dibicarakan orang-orang. Bisa dikatakan bahwa tujuan penerbitan buku itu, seperti yang tercantum dalam judul bab terakhirnya, ‘Aku Akan Dibaca’, telah tercapai. Roman itu dibaca oleh orang-orang di Belanda, termasuk dari kalangan akademisi dan pejabat pemerintahan. Profesor P.J. Veth, guru besar bahasa-bahasa Timur di Amsterdam dan Leiden, bahkan tidak hanya membaca Max Havelaar, tetapi juga mempelajari akhir peristiwa Lebak melalui Koloniaal Verslag 1856. Ia kemudian menulis ulasan yang membenarkan Multatuli dalam De Gids. Sosok lain yang memperhatikan karya Multatuli tersebut adalah Robert baron van Höevell, anggota Majelis Rendah Belanda, yang sudah terlebih dulu menaruh perhatian pada nasib penduduk Jawa dan mengutuk sistem Tanam Paksa sebagai penyebabnya. Dalam sidang Majelis Rendah pada 25 September 1860, van Höevell menyebut Max Havelaar sebagai “semacam getaran yang menjalar di seluruh negeri”.
Perbincangan terhadap terbitnya Max Havelaar terus bergulir di Belanda. Setelah membaca Max Havelaar, Robert Fruin menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jaja-han. Dalam artikel itulah untuk kali pertama dikenal istilah batig slot atau keuntungan dari program Cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda. Tulisan Fruin kemudian mem-pengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia-Belanda yang menggagas politik etis seperti van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids pada 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Ia menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia-Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda.
Di samping itu, Max Havelaar karya Multatuli juga dikenal luas dan menjadi inspirasi bagi pejuang kemerdekaan, mulai dari Sukarno hingga José Rizal dari Filipina. Selain bercorak satir politik, Max Havelaar juga menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan. Bahkan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia dengan karya terkenalnya Tetralogi Buru, pernah mengatakan bahwa roman Max Havelaar adalah sebuah upaya untuk membunuh kolonialisme.
Geser (swipe) / tekan tanda panah untuk melanjutkan
- Anderson, Benedict. “Max Havelaar (Multatuli 1860), The Novel: Forms and Themes, Ed. Franco Moretti, Vol. 2, 2006, pp. 449-462.
- Hermans, Willem Frederik. Multatuli yang Penuh Teka-teki. Jakarta: Djambatan, 1988.
- Moechtar. Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2005
- geheugen.delpher.nl
- multatuli.online