Pameran online ini dapat diakses dengan meng-klik tombol di bawah ini:
Akhir-akhir ini, makin banyak museum mengubah perlakuan mereka terhadap koleksi dan interpretasi objek untuk merombak pendekatan kolonial yang tertanam dalam praktik museum, khususnya di Indonesia.
Museum harus memikirkan kembali hubungan antara people (orang), places (tempat), dan object (objek). Dekolonisasi di paruh kedua abad ke-20 menuntut museum di berbagai bagian dunia mempertimbangkan kembali bagaimana cara terbaik untuk menampilkan warisan bangsanya. Terlepas dari proses politik ini, masih banyak museum mempertahankan cara memahami dan mewakili dunia yang dibingkai oleh nilai-nilai dan bias kolonialisme.
Pameran ini merupakan bagian dari usaha untuk menjawab tantangan dekolonisasi dengan menggunakan cara baru untuk melakukan kajian dan interpretasi objek. Banyak objek dan cerita yang terdapat dalam pameran ini juga menggambarkan sejarah dan hubungan kontemporer dalam perpindahan orang, ide, dan benda antara Australia dan Indonesia.
3 Tema Utama
1. Makna yang berubah
Signifikansi objek – mengapa dan untuk siapa objek tersebut penting – terus berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut bisa jadi adalah buah dari pengetahuan baru, tetapi juga bisa terjadi karena dinamika antara museum dan masyarakat. Signifikansi tidak dapat lagi dilihat sebagai sesuatu yang melekat atau sebagai ‘fakta’ sejarah yang hanya didefinisikan oleh kurator. Makna benda bagi sebuah kelompok masyarakat juga merupakan bagian dari signifikansinya. Meriam Si Jagur menjadi penting bukan hanya karena fungsinya sebagai senjata, tetapi karena masyarakat pernah meyakininya sebagai pembawa kesuburan. Keris Buriktang yang berasal dari abad ke-13 objek museum dan objek ritual yang masih digunakan dalam penobatan raja. Objek museum juga dapat memiliki arti yang berbeda untuk komunitas dan budaya yang berbeda. Tokoh Wayang Golek yang dikoleksi sebagai barang antik sering disumbangkan ke koleksi museum Australia tanpa cerita asal usul yang jelas. Padahal di sisi lain ia merupakan bagian penting dalam tradisi dan seni masyarakat Sunda. Dengan bekerja bersama kurator dan dalang dari Indonesia kita dapat memahami bagaimana seni ini terhubung dengan sejarah dan cerita-cerita seperti Ramayana, Mahabharata, Panji, serta penyebaran agama.
2. Kolonialisme & Peninggalannya
Museum sering menjadi agen kolonial dalam hal klasifikasi dan penyajian kisah mengenai manusia dan objek. Banyak museum yang menampilkan dan bahkan membenarkan keuasaan penjajah. Peninggalan ini tidak berakhir dengan proses politik dan dekolonisasi pada paruh kedua abad ke-20. Ketidaksetaraan, rasisme, dan diskriminasi memicu perlawanan seperti yang kita lihat dalam Gerakan Black Lives Matter. Belakangan ini, museum ditantang untuk mengakui peran mereka dalam sejarah kolonial pengaruhnya dalam kerja permuseuman. Praktik dekolonisasi museum berarti perubahan signifikan yang tidak hanya mencakup repatriasi koleksi. Prosesnya dapat bermacam-macam, tetapi pada intinya harus melibatkan kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau disalahpahami demi membangun hubungan yang lebih baik. Pendekatan ini juga memperluas perspektif dan mengakui berbagai jenis pengetahuan di luar pengetahuan Barat. Museum Nasional Indonesia, misalnya, telah bekerja sama dengan komunitas untuk melakukan kajian ulang pada Gelang Tumbuk yang diambil saat ekspedisi militer kolonial di Aceh oleh Belanda. Gelang tersebut kini tidak lagi merepresentasikan kemenangan kolonial, namun dapat mewakili kisah sosial sebuah masyarakat. Objek lain yaitu penggiling kopi koleksi Museum Pedir di Aceh menggambarkan bagaimana peran dan perubahan fungsi sosial kopi bagi masyarakat di daerah tersebut, misalnya bagaimana Belanda sempat melarang orang Aceh menanam dan mengkonsumsi kopi pada awal abad ke-20.
3. Perpindahan Orang, Objek & Tradisi
Pada 1977, ahli geografi Yi-Fu Tuan berpendapat bahwa museum ‘sepenuhnya terdiri dari objek yang dipindahkan’, di mana satu-satunya kesamaan objek adalah bahwa mereka pada awalnya tidak dirancang untuk berada di museum. Bagaimana objek bisa ada di koleksi kita? Dari mana mereka berasal? Seringkali label museum memberi tahu kita detail spesifik tentang objek, siapa yang membuatnya dan kapan, tetapi tidak mengenai bagaimana ia dapat menjadi bagian dari koleksi. Beberapa objek berpindah secara ekstensif, termasuk melintasi batas negara, menciptakan makna baru di sepanjang jalan. Dibuat pada tahun 1625 untuk Portugis, Meriam Si Jagur ‘berkelana’ dari Makau ke Malaka lalu ke Batavia (sekarang Jakarta). Sejak itu, ia telah menjadi koleksi tiga museum berbeda di Jakarta. Bebatuan dari kapal karam Batavia adalah contoh lain yang menggambarkan fenomena ini. Batu-batu tersebut berasal dari Jerman, dikirim dengan kapal Belanda, dan berakhir karam di Samudra Hindia. Sekarang, lebih dari 300 tahun kemudian, ia berada di Western Australian Museum di mana signifikansinya dibingkai oleh koneksi Belandanya. Objek ini memberikan kesempatan untuk tidak hanya mengeksplorasi peninggalan kolonial yang dimiliki bersama oleh Indonesia dan Australia, tetapi juga merupakan ‘pintu gerbang’ bagi perspektif baru Indonesia tentang narasi Eropa yang sudah mapan.
Objek lain mencerminkan bagaimana ide bisa berpindah, seperti batik Yirrkala sebuah interpretasi atas lukisan kulit kayu yang dibuat oleh seniman bernama Ronald Nawurapu Wununmurra. Karyanya terinspirasi oleh lagu-lagu tradisional Yolngu yang menceritakan kisah pelaut Makassar (Bugis) mengunjungi Arnhem Land. Begitu pula dengan koin dari Tiongkok dalam koleksi Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang ditemukan dalam penggalian arkeologi. Koin ini menggambarkan pentingnya Banten sebagai pusat perdagangan sejak abad ke-7.