
Iraha rék eureun nincak | nindes, perbawaning duit? | geus poho bebeneran, | nu sabar gé, jadi seungit. | Misil munding didinyeunyeuri, | disiksa, neunggar jeung nanduk, | malik ngamuk, nguwak-ngawik | nu julig remuk diluluh.. (terjemahan bebas) sampai kapan berhenti menginjak | Menindas, karena alasan uang? | lupa sudah kebenaran | Yang sabar kiranya kesal | semisal kerbau dibuat sakit | balik mengamuk, sejadi-jadinya | disiksa, menabrak dan menanduk | Yang licik remuk diinjak-injak.
Kutipan puisi di atas berjudul Poé Panungtung Walanda di Pulo Jawa, karya Sentot yang saya kutip dari buku Saija-Multatuli terjemahan bahasa Sunda R.T.A Sunarya. Kiranya puisi itu segendang-sepenarian dengan kekhawatiran Multatuli ketika ia melihat ketidakadilan yang dilancarkan para penguasa di Lebak.
Terbukti novel Max Havelaar hingga kini dapat memantulkan kesan penderitaan, kebobrokan sistem perdagangan, politik yang licik atau haru-biru kisah Saijah dan Adinda yang romantis-tragis sampai kisah Adipati selaku orang yang telah menyelewengkan tugasnya demi memperoleh keuntungan, menjual keadilan demi uang, bahkan mengambil kerbau dari orang miskin dan buah-buahan milik mereka yang kelaparan.
Sentot menulis puisi merekam era perjuangan menggambarkan masyarakat melawan, memperjuangkan ketidakadilan. Sedangkan buah dari novel yang dikarang Multatuli membawa kesegaran-kebijakan politik etis bagi daerah jajahan di belahan dunia, meski banyak catatan sejarah mengungkapkan pelaksanaannya kurang etis.
Tanam-paksa dan penguasa yang lalim pada masa kolonial mendapatkan perhatian yang khusus bagi Multatuli, pun bagi tokoh ciptaannya yakni Max Havelaar. Havelaar dalam kisahnya sempat melakukan pidato di hadapan para penguasa Lebak untuk mengungkapkan semangat pembangunan daerah yang baik, sesuai dengan norma agama serta menjunjung kemanusiaan, bahkan ia tak segan melaporkan kejadian-kejadian yang dianggap merugikan pemerintah, lewat surat-surat yang ditujukan kepada atasannya.
Pertunjukan Kelompok Teater Syahid yang digelar pada hari rabu, 06/09 di Pelataran Setda Lebak, sejatinya bertumpu pada teks pidato dan surat-surat Max, Ari selaku sutradara, mampu mempresentasikan derita tanam paksa masyarakat Lebak bahkan lebih luas orang Nusantara di atas panggung Festival Teater Multatuli ketika itu.
Ya, penonton melihat orang-orang yang bekerja di bawah tekanan, pecut-paksaan, dan tindak kesewenang-wenangan para penguasa, digambarkan secara imajinatif melalui aksi mendorong, memikul, dan menyeret benda-benda berat hingga menyiksa. Hentakan kaki, erangan kesakitan, lirih suara pedih serta kata-kata resah seolah tertimbun dalam racauan para pekerja, tampak nyata di tubuh para aktor yang membalut dramatika pidato tokoh Max Havelaar.
Pidato Max yang bermakna membela masyarakat serta amanat bagi para pemimpin Lebak, dipresentasikan oleh Fadli yang bermain sesuai dengan aslinya, percis kesan yang dituliskan dalam novel “ia (Max) tidak memberikan penekanan pada kata-kata tertentu malah cenderung monoton, karena kemonotan inilah kata-kata meluncur dengan mengesankan” Hal-190 novel Max Havelaar.
Pembawaan intonasi datar dan gestur berdiri-diam sejatinya bila tidak dibarengi oleh suasana tanam-paksa akan menimbulkan kebosanan, sebab teks pidato Max secara harfiah sudah berjarak dengan penonton hari ini.
Sampai di situ, saya menangkap usaha estetik sutradara dalam mengawinkan teks pidato Max dengan aksi dramatik para aktor tanam-paksa. Formula penciptaan seperti ini kiranya ditujukan untuk menimbulkan benturan ketegangan antara gestur berdiri-diam versus gestur bergerak-menghentak dan antara yang berbicara jelas versus suara-suara meracau. Walhasil adegan pertunjukan Nya efektif dalam menciptakan gimik dan spektakel. Meski saya melihat ada sedikit kejenuhan dari raut muka sebagian penonton, karena adegan serupa itu diulang hampir di setiap adegan.
Padahal Ari bisa saja mengorek teks lain (sub-teks) dalam novel secara liar untuk menciptakan dramatika Solilokui Max, sebab dengan gamblang kesan pidato itu “mirip bor yang diputar paksa pada kayu keras” Hal-192. Atau pada teks lainnya “Namun, kau harus melihat Havelaar pada kesempatan seperti itu untuk memahami betapa dia, ketika berpidato semacam itu, menjadi bersemangat dan, melalui cara bicaranya yang ganjil, menyampaikan warna baru untuk hal-hal yang paling biasa. Betapa dia bisa dikatakan menjadi lebih tinggi, betapa tatapan memancarkan api, betapa suaranya berubah dari lembut merayu menjadi setajam silet, betapa kiasan-kiasan mengalir dari bibirnya seakan dia sedang menyebarkan semacam komoditas berharga” Hal-181.
Bila kita telaah secara mendalam sub teks dari pidato Max mengandung metafora yang kuat, misalkan material yang dipakai untuk mengesankan pidato sepadan dengan bor, silet dan api bahkan lebih jauh cara pengucapan Max dianggap ganjil. Material-material itu kiranya dapat menunjang penciptaan pertunjukan Ari ke arah yang lebih dahsyat, sebab ia kadung mengeksplorasi gambar dari teks pidato dan surat-surat Max, terlebih hal semacam itu dapat menjadi pertimbangan bagi intonasi Fadli dalam membawakan solilokuinya.
Terlepas dari itu semua, pertunjukan Nya yang dipanggungkan Teater Syahid menuai tepuk tangan dari para penonton yang antusias menunggu hingga malam. Sekali lagi, Teater Syahid berhasil mengalih wahanakan teks pidato dan surat-surat Max menjadi pertunjukan yang ciamik-asyik.
Sebagai penutup, penggalan kutipan ini dapat menggambarkan atraksi yang disajikan Kelompok Teater Syahid “Oleh sebab itu kita bisa mengasumsikan tidak banyak kejadian-kejadian di Lebak yang lolos dari pantauan Nya” hal-360.
Peri Sandi Huizche,
Penikmat teater
Beraktivitas di Laboratorium Banten Girang