
Terajana, begitu kelompok ini menyingkat kepanjangan namanya yang berarti Teater Raudatul Janah. Teater ini berdomisili di Cilegon dan bernaung di bawah sekolah swasta yang kerap kali memenangi perlombaan sastra serta sempat menjadi penyelenggara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya tahun 2014, bagian dari program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk penguatan sastra di sekolah.
Dalam membaca pertunjukan Untuk Adinda besutan Sutradara; Denny Ahmad Herdiana A.K.A Denny Iblis, saya akan meminjam tiga gugus interpretasi yang dibuat oleh Benny Johanes untuk menjelaskan analisis logika sebuah karya, yaitu analisis pertunjukan, pemikiran dan struktur tema yang diangkat ke dalam naskahnya.
Saya akan memulainya dari tema yang terkandung dalam naskah Untuk Adinda. Penulis naskah kiranya memotret peristiwa pelik yang dialami Saijah di kampung halamannya, ketika kerbau dan sawah milik Saijah beserta para petani lain direbut-paksa oleh sosok Adipati yang semena-mena dalam memerintah. Dalih upeti yang sebenarnya bercorak pemerasan, mengakibatkan kelumpuhan pada bagian inti pendapatan warga. Saijah yang menjadi tokoh sentral dalam naskah tersebut, menjadi metafora kedaulatan rakyat yang lirih-tidak berdaya, hingga akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan tempat kelahiran namun sekaligus menjemput kematian.
Sedangkan untuk mendapatkan struktur tema yang diangkat Denny, selebihnya mesti dilihat dari karya-karya yang dibawakannya, seperti misalnya naskah Ben Go Tun karya Saini KM, Si Jantuk karya Arthur S. Nalan, Bulan dan Kerupuk karya Yusef Muldiyana, atau dari karya yang ditulisnya sendiri; seperti judul Tamak dan Tumbal, serta satu karya dari anggota kelompok ini Bukan Dukun ditulis Wisye Nurhayati. Tema-tema dalam naskah tersebut kiranya mengambil tema sosial dan potret masyarakat lapisan menengah bawah yang diambil-presentasikan untuk menguliti kondisi orang-orang di lingkungannya Cilegon yang industrial itu dan untuk kebutuhan apresiasi siswa-siswi di lingkungan sekolah.
Repetisi keberpihakan Denny, pada tema sosial dan potret masyarakat lapisan menengah bawah, menjadi rekam jejak sekaligus tolok ukur untuk menjelaskan cara tangkap Denny dalam menciptakan naskah Untuk Adinda.
Agaknya, ia memfokuskan bidikan dengan cara memperlebar dan memperbesar cakupan pandang-penonton (hyper-detail close up) pada bagian inti derita masyarakat yang diwakili oleh sosok Saijah. Saijah sebagai sosok potret kiranya mendapat porsi khusus, hal tersebut tampak pada kolase yang saya ambil dari dialognya: “ ….Tanah adalah sebagian dari hidup kita, dan meninggalkan tanah adalah meninggalkan sebagian nyawa. Kalian kan ngerti ini! ….Air yang mengalir dalam tanah merupakan darah sendiri dalam tubuhnya, ….kalau tanah sudah kering, itulah pula berarti darahnya kering sudah, seperti aku… kalau sudah kering, aku mau apa lagi di sini.”.
Dari cara tangkap Denny, selanjutnya saya dapat menangkap serpihan pantulan pemikirannya tentang konsep diri yang lebur dengan masalah masyarakat, atau sebaliknya masalah yang dialami masyarakat diserap ke dalam diri Saijah. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai cara untuk menarik empati setiap penonton secara personal, sehingga yang terjadi (khususnya saya) seolah-olah pertemuan personal antara diri penonton dan diri Saijah tanpa kehadiran yang lain, padahal adegan dibentuk dramatik oleh koor.
Cara pikir demikian setolok dengan tokoh Amat dalam naskah Sani KM, Amat menjadi tokoh yang menyerap lintasan tokoh-tokoh lain yang datang ke warungnya; Atau pada tokoh Si Jantuk karya Arthur S. Nalan, Si Jantuk menjadi tokoh utama dari keluarga Jantuk yang bisa menjadi apa saja dalam usahanya membasmi Hantu Tetelo dari kerajaan Cekak Cekakak.
Sedangkan analisis pertunjukan yang saya baca dari presentasi pertunjukan Denny, Panggung saat itu di hari Jumat (08/09), terasa diselimuti oleh kalimat puitik yang mengalir deras dari tokoh Saijah dan Adinda serta sejumlah kalimat yang diucapkan rampak/koor untuk kesan monumental. Sepertinya ia terbiasa dengan sastra terutama puisi. Kerja puisi dapat dikatan sebagai kerja mencipta metafora.
Oleh karena itu, tampak adegan demi adegan dijalin secara metaforik; pohon yang meranggas kiranya dapat dikelindankan dengan kondisi sosial yang kering itu, atau gagang pacul sebatas gagang yang kehilangan fungsinya, atau bunyi Lisung senada dengan kelaparan dll. Bahkan dalam intonasi Saijah seolah sedang melakukan pembacaan puisi.
Tentu saja, kelompok ini tidak sedang melakukan dramatisasi puisi; mengambil puisi yang kemudian didramakan. Berbeda proses kerjanya, proses penggaliannya bersumber dari novel Max Havelaar kemudian mereka menciptakan naskah teatrikal yang puitik.
Barangkali dengan begitu, judul karya Untuk Adinda dapat dipahami sebagai karya pertunjukan yang berbasis pada penciptaan metafora; memakai dua atau tiga bentuk (adegan/properti) ke dalam satu fungsi dengan landasan persamaan atau perbandingan.
Peri Sandi Huizche,
Penikmat Teater
Berkegiatan di Laboratorium Banten Girang.