
Rupanya hanya Teater Syahid yang memberikan kejutan bangunan narasi untuk menghadirkan Max Havelaar dalam bentuk pemanggungan. Sebuah percobaan yang menurut sejauh pengamatan saya, cukup mengambil risiko. Kalau tidak ditopang dengan kekuatan aktor-aktornya, pupuslah identitas legendaris dari Max Havelaar ini. Untungnya presentasi dialektika historisitas akan sosok Max Havelaar ini cukup berkembang dari satu adegan ke adegan lainnya. Inilah teater yang masih menonjolkan karakterisasi dari tokoh-tokoh, dan membangun komposisi panggung dengan sangat dramatik, tidak keluar dari pakem representasi kenyataan, yang dalam hal ini mempresentasikan kondisi sosial rakyat Banten, saat terjadi Cultuurstelsel. Menurut pengamat dan penulis Dr. Gerard Termorshuizen, novel satire Max Havelaar ini, banyak mengandung unsur biografis dari sang penulisnya.
Gambaran karismatik novel Multatuli, lewat tokoh Max Havelaar (Fadli Rudiansyah) hadir sebagai suara-suara elegis saat membacakan pledoi suratnya yang legendaris dan subtansif yang diarahkan ke pemerintah Residen Banten, laporan selama masa tugasnya menjadi Asisten Residen Lebak karena melihat bupati Banten memerintah dengan cara kasar, tidak manusiawi, merampas kerbau pribumi, kemiskinan tanpa akhir dan kelaparan di mana-mana. Membuat atmosfer yang adaptif, sekaligus terjadinya pergulatan emosionil. “Semenjak melaksanakan tugas – tugas saya di sini sebulan yang lalu, saya terutama telah menyibukkan diri dengan meneliti: bagaimana para pejabat melaksanakan kewajiban mereka terhadap penduduk sehubungan dengan kerja paksa, pundutan dan semacamnya” tulis Max, dalam suratnya itu, tajam dan nyinyir.
Teater penampil di hari pertama Festival Teater Multatuli (FTM), pada ajang Festival Seni Multatuli (FSM) 2018, di halaman setda Lebak, Banten (7/9) tersebut, menyajikan pertunjukan teater berjudul ‘Nya’ yang disutradarai oleh Ari Sumitro. Teater ini bermarkas di kampus UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang. Saya melihat, Ari sang sutradara, menyiasati agar naskahnya bisa menyajikan keaktoran tipikal dalam diri Fadli.
Teater Syahid, meneaterkan Max, dalam diri Fadli, Fadli sang aktor melakukan dengan baik. Keterampilan tutur dan tubuh Fadli dalam memainkan lakon ini membuat Max hadir dengan sangat Stanislavskyan, melankolik, efektif dan tidak keluar dari fondasi nukilan fragmen-fragmen persona gagasan dari novel Multatuli. Justru di sini, bisa dilihat, narasi teks ini bekerja. ‘Nya’ menjadi diksi kerja, yang sangat dramatisasi. Tidak menjadi diksi benda, yang diam. Naskah ini sedikit berkiblat pada realisme-puitik ala Anton Chekov. Berusaha menggali semesta batin manusia, lewat pergulatan idealisasi kontemplatif.
Adegan awal dibuka dengan sangat performatif, awak kru masuk panggung. Pentas dipersiapkan. Karpet putih sebagai simbolisasi kesucian, digelar. Kursi dijajarkan. Max Havelaar muncul dengan sorot lampu yang tenang, remang, dan mata yang dingin, sedingin surat-surat yang akan dibacakannya itu. Angin menyusup di antara panggung. Bupati Lebak, masuk dengan gaya tipikal yang pongah, acuh dan angkuh. Penduduk Banten, menyembah sang bupati dengan tergesa-gesa, ketakutan. Suara Max masih tergiang membacakan surat-surat di hadapan sang Bupati yang berjalan pongah itu. Unsur dramatik ini menguatkan ruang amuk, ruang kekacauan batin dan lahir dalam panggung. Kepongahan Bupati—Ruang Amuk—-Surat Max. Menjadi cuplikan panggung eksplisit.
Lagi, Max belum selesai. Kali ini suara Max terdengar lewat audio. Masih membacakan surat-surat perlawanannya untuk membela masyarakat Banten, yang juga ia tujukan ke pemerintah Lebak, Banten. Audio itu lantang, bergema dengan visualisasi penduduk melakukan pekerjaan, merawat sawah, membajak sawah, dan disuruh melakukan tanam paksa yang melegenda itu. Max resah. Max gelisah. Pembelaan surat itu, selesai dengan sunyi dan dingin. Suara Max—- Ruang Amuk —- Persona Gagasan. Lalu dibalas dengan audio balasan dari Residen Lebak untuk Max. Tanam paksa masih berlanjut. Penduduk kian tersiksa. Adegan terakhir, sang bupati menatap lurus sambil menguap. Puluhan tahun kemudian, gagasan tentang politik etis lahir.
Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang menciptakan tokoh Max Havellar itu sudah mati 131 tahun yang lalu. Namun suaranya masih terngiang dari dalam kuburnya. Surat-surat pembelaan Max terhadap rakyat Banten, masih menempel di setiap ingatan masyarakat Indonesia. Sulit tergerus waktu dan deru angin zaman. Teater Syahid dalam Festival Seni Multatuli 2018 kali ini, meng-kata-kerjakan lagi, surat-surat legendaris Max itu dalam bentuk pemanggungan yang hidup. Dan suara Max Havelaar itu akan tetap bergaung sampai tahun-tahun mendatang, seperti kata Multatuli di halaman 347 “ya, aku bakal dibaca!/Jikalau tujuan itu tercapai, maka puaslah aku/Sebab aku bukan hendak menulis baik,/… aku hendak menulis begitu rupa/sehingga didengar, dan seperti orang yang berteriak/ :’tangkap maling itu!’/ tidak perduli gaya ia menyampaikan ucapannya yang spontan kepada publik itu/, maka akupun tidak perduli bagaimana orang menanggapi cara aku meneriakkan: ‘tangkap maling itu!’.
*Rendy Jean Satria, penulis adalah sastrawan.
Pada Festival Seni Multatuli diundang sebagai penulis
dan pengamat Festival Teater Multatuli 2018.