Identitas Tokek, Dialogis Historifikasi Pada Pertunjukan Genta Bahana Banten di FSM 2018
- Hendra Permana
- September 30, 2018
- 0 Comment

Tokek secara metaforik adalah hewan berisik bersuara ganjil. Bagi penyair Rendra (1935-2009) sajak berjudul “Tokek dan Adipati Rangkasbitung” (1990), sebuah pamflet yang juga harus membikin para penguasa bising, terganggu dan bisa menggugat kesadaran akal sehat masyarakat terhadap ketidakadilan, kebengisan. Sajak ini, memang mengambil semangat dari novel Multatuli dan menolak khilaf terhadap penindasan yang terjadi pada rakyat Banten di masa lampau karena tanam paksa. “Aku Adipati Rangkasbitung, muncul dari masa lalu. Dari zaman Multatuli, dan Saijah dan Adinda. Sudah sepuluh tahun kembali menjelma di lain kota. Aku duduk di atas harta dan kehormatan. Tak terjamah.” Tulis Rendra dalam sajaknya itu.
Sajak tersebut termaktub pada buku puisi Orang-Orang Rangkasbitung, yang terbit pada tahun 1993. Tentu saja sajak itu berhasil membuat pemilik kekuasaan terganggu tidurnya. Identitas tokek menjadi diksi yang menarik, karena tertulis sebanyak 96 kata. Dan Rendra, yang saat itu berusia 58 tahun masih belum surut menghasilkan sajak-sajak kritik sosial yang berkualitas. 5 tahun kemudian Rendra, bahkan kembali mementaskan dramanya berjudul “Kisah Perjuangan Suku Naga” di Taman Ismail Marzuki (29 s/d 30 September 1998), yang juga tak lepas dari kegelisahannya melihat kondisi sosio-politik di Indonesia.
Rendra adalah nama yang begitu elite dalam percaturan kesusastraan dan drama modern Indonesia. Sutradara Giri Mustika dari Genta Bahana Banten (GBB) tentu tahu itu. Terlebih lagi, Giri Mustika Roekmana mengadaptasi sajak Rendra yang sudah gandrung dikenal di publik “Tokek dan Adipati Rangkasbitung”, menjadi sebuah pertunjukan hari pertama pada perhelatan Festival Teater Multatuli (FTM) 2018 yang menjadi salah satu bagian acara penting Festival Seni Multatuli (FSM) di Halaman Gedung Setda Lebak, Banten pada jumat (7/9) lalu.
Sumber penciptaan sajak Rendra itu seperti meneruskan perhelatan adiluhungisme sang burung merak di dalam mata rantai drama modern di Indonesia, yang dalam hal ini diwakilkan oleh sutradara Giri Mustika Roekmana dengan kelompok Genta Bahana Bantennya. Pembacaan secara referensial oleh Giri itu, disajikan dalam garapan yang minimalis secara artistik.
Simbol-simbol tradisional seperti, kain obor, sarung, bunga tujuh rupa dan caping berhasil dihadirkan dalam bentuk yang komprehensif oleh Giri. Sang aktor utama yang berperan sebagai layaknya Adipati menggunakan kaca hitam, berdiri menjadi pusat historifikasi sebagai Adipati Lebak, Rangkasbitung. Dikelilingi aktor settingan, menggunakan caping. Kaca mata hitam dan caping, adalah dua material yang memiliki kedudukan kelas berbeda. Aktor yang memerankan Saijah dan Adinda, dihadirkan sutradara di sisi panggung, sebagai penanda. Semiotik Saijah dan Adinda ini tidak berhasil membuat saya gelisah.
Tapi yang hadir pada pertunjukan tersebut, dalam amatan saya sejauh ini hanyalah gimmick pemanggungan. Adaptasi puisi ke dalam bentuk pemanggungan, tidak dibuat Giri menjadi replikasi dan menemukan sensitivitas idiom pada sajak Rendra itu. Dialogis historifikasi tidak terbangun dalam narasi. Pembacaan pada studi komparatif ini, seharusnya menjadi bahan dasar penting bagi Genta Bahana Banten. Pergulatan pada wilayah fungsi konstruksi, akan sajak ini harus digali, bukan hanya mengandalkan kekuatan ekspresivitas retorika.
Sebuah karya yang sudah terlampau dikenal publik, lalu diadaptasi dalam bentuk yang lain harus dipertengkarkan kembali oleh gagasan-gagasan tajam dari sutradara. Alih-alih karya adaptasi itu digoreng sampai gosong, malah jadi karya gosong. Jangan disodorkan menjadi gimmick pemanggungan. Harus bisa membetot pikiran apresiator dalam mencari tahu kekuatan dari karya adaptasi itu.
Saya mengapresiasi keseriusan sutradara Giri dengan kelompok Genta Bahana Banten yang mengambil semangat idiom sajak ‘Tokek dan Adipati Rangkasbitung’ yang membedah dan menjelajah kemungkinan baru di atas panggung untuk menciptakan aura puitika Rendra dari tubuh-tubuh aktor. Ekspresivitas musik yang dalam hal ini adalah gitar listrik dan perkusi mengalir dari awal sampai akhir pertunjukan lebih kentara, ketimbang melakukan replikasi atas sajak tersebut di atas panggung.
*Rendy Jean Satria, penulis adalah sastrawan.
Pada Festival Seni Multatuli diundang sebagai penulis
dan pengamat Festival Teater Multatuli 2018.