Rapat Raksasa “Persatuan” di Rangkasbitung 1957 (JB5701/249)

Deskripsi

Foto ini mendokumentasikan kunjungan Presiden Sukarno ke Rangkasbitung pada 29 Maret 1957. Kedatangannya untuk menghadiri sekaligus berpidato dalam rapat raksasa “Persatuan” di alun-alun Rangkasbitung.

Keterangan foto: Bupati Lebak Raden Moeljani Nataatmadja, mengucapkan kata sambutan dalam rapat raksasa “Persatuan” di alun-alun Rangkasbitung.

Repro dicetak pada kertas luster.

Detail Koleksi

K.15.164.R.S/INV.2023

21 Februari 2023

MM.FTO.2023.164

21 Februari 2023

Foto ini mendokumentasikan peristiwa rapat raksasa “Persatuan” yang diadakan di alun-alun Rangkasbitung pada 29 Maret 1957. Rapat tersebut dihadiri langsung oleh presiden Sukarno sekaligus berpidato di depan ribuan rakyat Rangkasbitung. Rombongan presiden merupakan yang terbesar mengikuti perjalanan ini tiba di ibukota Lebak sekitar jam 08.30 pagi menggunakan kereta api dari stasiun Tanah Abang, Jakarta. Rombongan ini terdiri dari 61 orang—21 orang di antaranya adalah wartawan dari dalam dan luar negeri (Kengpo, 30/03/1957).

Sukarno memulai pidatonya dengan mengemukakan bahwa, kesukaran-kesukaran yang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini tidak lebih daripada “gatal-gatal kecil” (kriebelingen) yang lumrah dialami tiap bangsa yang baru berdiri, dan tidaklah sebesar seperti dikhawatirkan dan digambarkan orang. Kesukaran-kesukaran ini disebabkan karena tidak adanya persatuan di antara bangsa Indonesia dan adanya gerakan kaum imperialis yang menghasut suku dengan suku serta menghidupkan perasaan kedaerahan dengan menghancurkan Republik Indonesia proklamasi 1945 (Sin Po, 30/03/1957).

Dalam hubungan ini, Sukarno menyatakan bahwa pers luar negeri, terutama “pers kaum imperialis” dengan sengaja membesar-besarkan masalah di Indonesia dengan memberitakan bahwa Republik Indonesia sekarang “is cracking up” dan bahkan ada yang menyatakan “does no more exist” (tengah alami kehancuran dan tidak berdiri lagi). Pemberitaan itu menurut Sukarno adalah kebohongan yang hanya menggambarkan kehendak atau “wishful thinking” kaum imperialis belaka. Kenyataan menunjukkan fakta-fakta berlainan, Republik kesatuan tetap berdiri, demikian kata presiden (Sin Po, 30/03/1957).

Dalam orasi selanjutnya, Sukarno mengemukakan bahwa akan selalu ada orang-orang kita yang mau diperalat oleh kaum imperialis. Sejak zaman Van Mook dengan ide negara-negara bagiannya itu, telah ada orang-orang yang bersedia ditunggangi karena ingin mencari kedudukan. Adalah kewajiban kita, terang Sukarno, supaya sisa-sisa imperialis itu dibersihkan dan perlu optimis bahwa bangsa Indonesia akan berhasil dalam hal ini. Di samping itu, ia melancarkan serangan sengit terhadap para pemimpin Indonesia yang “korup”, yang “makan dari piring emas daripada membantu rakyat” (De Preanger Bode, 1/06/1957). Selayaknya, menurut presiden, pembangunan negara harus untuk kepentingan massa, bukan kepentingan para pemimpin.

Salah satu koresponden dari luar negeri (sepertinya ikut dalam rombongan wartawan presiden ke Rangkasbitung), memberitakan suasana rapat “Persatuan” yang riuh dan penuh tepuk tangan. Dari sisi pendengar atau penonton, selalu ada teriakan “Allah hu akhbar”, “merdeka, merdeka, merdeka!”, “persatuan”. Sedangkan Sukarno sering memekikkan kata “tida mau federalisme Pan Mook”, “Sabang Merauke”, “di atas Digoel”, “devide et impera”. Kata “Belanda” juga berulang kali disebutkan dan menurutnya tidak terdengar menyenangkan (Nieuwsblad van het Noorden, 3/05/1957).

Rapat raksasa “Persatuan” berakhir menjelang tengah hari. Setelahnya presiden melaksanakan Shalat Jumat di Masjid Raya Rangkasbitung (barat alun-alun) dan mengisi khotbah. Rombongan presiden kembali ke Jakarta sekitar jam 02.30, di perjalanan singgah di Serpong untuk mengadakan orasi kembali, dan sampai di Jakarta pada 17.30.

Koleksi foto-foto perjalanan Sukarno ini pernah dipamerkan dalam pameran bertajuk “Soekarno Nyaba Banten” di Museum Multatuli Lebak pada 25 November hingga 10 Desember 2022. Pameran arsip foto ini dihadirkan untuk menunjukkan posisi Banten yang penting dalam konsolidasi massa pasca pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda sejak 1949. Jarak Banten yang tidak terlalu jauh dari ibukota Jakarta, tetapi bekas wilayah kekuasaan Negara Pasundan bentukan Belanda, pastilah membuat Sukarno merasa perlu mengunjungi Banten untuk menguatkan persatuan dan nasionalisme.

Foto ini didapat dari Inventaris Arsip Foto Kementerian Penerangan Jawa Barat (Kempen Jabar) yang saat ini disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dengan kode inventaris JB5701/249. Di belakang foto terdapat keterangan fotografer, bernama Sunarjo (kemungkinan berasal dari kantor berita Antara). Museum Multatuli Lebak mereplikasi untuk kepentingan pameran.

Rangkasbitung

Jakarta (ANRI)

Abad ke-20 M
(1957)

2022

Sunarjo (juru foto)
ANRI (pengganda)

Pembelian

IDR 50.000

P: 12,9 L: 12,5

Kertas luster

Bukan cagar budaya

Foto

Repro/replika

Utuh, noda

Storage

Artikel terkait koleksi:
Tags:
Jam Kunjungan

08.00-16.00 WIB, Sabtu-Minggu sampai 15.00 WIB. Senin dan Libur Nasional Tutup

Museum Location

Jl. Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten.