Max Havelaar sebagai Alat Propaganda Jepang?

Sebenarnya ketika Jepang menerapkan politik isolasi atau sakoku pada zaman Edo (1603-1867), wilayah itu tidak benar-benar tertutup. Seiring dengan pemberlakuan sakoku, rangaku­ justru dipelajari secara masif di kalangan intelektual Jepang. Rangaku—secara harfiah bermakna “ilmu Belanda”—adalah sebutan untuk ilmu pengetahuan, budaya, sastra, dan teknologi dari Eropa yang dikenal Jepang pada zaman Edo. Ilmu-ilmu Barat didapat Jepang melalui kontak dengan orang Belanda di pos perdagangan Belanda (VOC) di Dejima, sebuah enklave di daerah Nagasaki.[1] Studi ilmu-ilmu dari Barat yang didapat dari orang Belanda ini memungkinkan Jepang mengejar ketertinggalan di bidang teknologi dan kedokteran Barat akibat politik isolasi yang dijalankan Keshogunan Tokugawa dari 1641 hingga 1853. Dari rangaku ini Jepang memiliki dasar-dasar ilmu pengetahuan untuk melakukan modernisasi setelah dibukanya pelabuhan-pelabuhan Jepang untuk perdagangan dengan kapal-kapal asing pada 1854.[2]

Saya tidak ingin membincangkan lebih jauh mengenai rangaku karena akan melebarkan bahasan. Akan tetapi hal menarik dari rangaku ialah meningkatnya penerjemahan buku-buku Barat oleh Jepang, walaupun tetap di bawah kontrol keshogunan. Pada awalnya memang penerjemahan hanya dibolehkan untuk ilmu-ilmu sains, seperti astronomi, fisika, kimia, biologi, ilmu optik, teknik mesin, matematika, geografi, dan dirgantara. Sedangkan penerjemahan di bidang hukum, sejarah, sastra, dan agama dilarang karena dikhawatirkan akan menjadi media masuknya kembali agama Kristen yang dianggap dapat mengganggu otoritas penguasa.[3]

Sampul depan Max Havelaar dalam bahasa Jepang (multatuli.online)
Spekulasi

Di Jepang, Max Havelaar diterjemahkan pada 1942, bertepatan dengan serangan besar-besaran Jepang ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik. Rudy Kousbroek, kolumnis di surat kabar NRC Handelsblad beranggapan bahwa Max Havelaar terbitan pertama bahasa Jepang itu kemungkinan bagian dari propaganda Jepang pada masa PD II.[4] Kita tahu sendiri bahwa sejak dimulainya ekspansi Jepang (1942-1945), propaganda merupakan kewajiban pokok dan salah satu yang paling penting dari pemerintahan militer—sampai dibuat departemen tersendiri, yaitu Sandenbu. Berbagai macam media seperti surat kabar, pamflet, buku, poster, foto, siaran radio, pameran, pidato, drama, seni pertunjukan, musik, dan film digunakan sebagai alat propaganda selama PD II berkecamuk. Menurut Aiko Kurasawa, media utama yang paling dipromosikan dalam upaya propaganda ini ialah film, seni panggung, kamishibai (pertunjukan gambar kertas), dan musik.[5] Jepang menganggap media audiovisual paling efektif bagi penduduk desa yang kebanyakan tak berpendidikan dan buta huruf. Di sisi lain media tulis seperti surat kabar, buku, majalah, dan pamflet hanya berdampak bagi pemukim kota yang terdidik.

Jika kita kembali lagi pada kalimat pembuka di paragraf sebelumnya, pernyataan Kousbroek mungkin ada benarnya. Akan tetapi Max Havelaar yang muncul pada masa perang ini tidak diperuntukkan sebagai  alat propaganda di tempat-tempat pendudukan Jepang, baik itu di Filipina, Hindia-Belanda, Semenanjung Malaya, Indo-China, Tiongkok, ataupun Korea. Sudah jelas edisi ini berbahasa Jepang, dipastikan diperuntukkan di dalam negeri Jepang. Dari sini muncul pertanyaan, apakah pemerintah Jepang juga melakukan propaganda untuk warganya sendiri, menggunakan Max Havelaar untuk mempengaruhi/mendukung tindakan pemerintah selama masa perang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita telusuri dahulu siapa penerjemahnya dan latar belakang memunculkan Max Havelaar edisi bahasa Jepang ini.

Asakura Sumitaka: Penerjemah Max Havelaar Bahasa Jepang

Baik di web multatuli.online ataupun artikel yang ditulis oleh Rudy Kousbroek, menyebutkan Asakura Sumitaka (1893-1978) sebagai penerjemahnya. Berdasarkan informasi segelintir yang didapat, ia lahir di kota Yamanaka (provinsi Ishikawa) sebagai keturunan dari salah satu penguasa feodal besar di era perang saudara Jepang (1467-1568), yaitu klan Asakura. Setelah menyelesaikan sekolah menengah Ötani di Kyoto, Sumitaka belajar bahasa Belanda dan Melayu dari tahun 1915-1918 di Akademi Bahasa Asing Tokyo (sekarang Gaikokugo Daigaku atau Tokyo University of Foreign Studies). Ia kemudian melanjutkan belajar sastra dan bahasa Belanda dari tahun 1923-1925 di universitas-universitas Belanda dan Belgia.[6] Pada 1919 dan 1927, Sumitaka ditugaskan oleh Departemen Pendidikan & Ilmu pengetahuan Jepang mengunjungi Hindia-Belanda untuk mempelajari keadaan pendidikan di sana.[7] Selama masa perang, Sumitaka menghabiskan waktunya di Tokyo sebagai penerjemah Belanda untuk Kementerian Angkatan Laut Jepang. Sejak 1964 menjadi anggota Maatschappij der Nederlandse Letterkunde—sebuah perkumpulan untuk mengenalkan sastra Belanda dan Flemish.[8]

Asakura Sumitaka (dbnl.org)

Ternyata Sumitaka banyak menerbitkan sejumlah buku ajar bahasa, misalnya Orandago yonsh­ūkan (Bahasa Belanda dalam Empat Minggu, 1935); Maraigo yonsh­ūkan (Bahasa Melayu dalam Empat Minggu, 1937), Indonesiago yonsh­ūkan (Bahasa Indonesia dalam empat minggu, 1952); Orandago nyūmon (Pengantar Bahasa Belanda, 1957); Orandago jōyō-rokusengo (6000 Kata Belanda dalam Penggunaan Sehari-hari, 1959); Kamus Bahasa Indonesia-Jepang (1963); Orando kaiwa handobukku (Buku Pegangan Percakapan Belanda, 1975).

Dari sini kita sudah mengetahui latar belakang dan asal-usul dari penerjemah Max Havelaar versi Jepang. Hal menarik dari terjemahan yang dibuat oleh Sumitaka ialah digantinya judul kecil “atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda” (of De koffi-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij) menjadi “Ran-in ni seigi wo sakebu . . . “ (Menyerukan keadilan untuk Hindia Belanda).[9] Belum diketahui apakah penggantian judul kecil itu mempunyai maksud politis dan berhubungan dengan upaya propaganda Jepang untuk masyarakatnya—mengingat Sumitaka memiliki jaringan di Kementerian Angkatan Laut. Tapi bila membaca sinopsis atau pengantar yang ditulis Sumitaka, sikapnya menunjukkan akan kepercayaan bahwa penindasan benar-benar terjadi di Jawa dalam sistem pemerintah kolonial Hindia-Belanda—di samping juga menceritakan sejarah hidup Multatuli. Lebih lanjut dalam pengantarnya, Sumitaka mengungkapkan bahwa kolonialisme Barat tidak ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Hindia-Belanda. Sistem Budidaya (cultuur stelsel) yang menghancurkan—seperti yang terjadi di Jawa—, memunculkan pertanyaan dan kesadaran tentang kebahagiaan penduduk koloni yang masih terbatas pada kaum elite intelektual.[10] Atas tulisan pengantarnya tersebut, memang ada maksud tersendiri mengapa ia menerbitkan Max Havelaar pada 1942. Bisa dibilang ini bentuk tidak langsung dari dukungannya (nasionalisme?) atas tindakan Jepang melakukan ekspansi dan perang. Sepertinya doktrin 3A (Jepang pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia) juga merasuk dalam masyarakat Jepang di samping juga tempat-tempat yang diduduki/dijajah oleh Jepang pada PD II. Terlepas dari itu, masih belum diketahui apakah memang terjemahan Jepang Max Havelaar secara resmi digunakan sebagai salah satu alat propaganda. Pertanyaan saya sebelumnya masih belum terjawab.

Ada celah lain untuk mengetahui Max Havelaar dijadikan alat propaganda, yaitu dengan melacak opini dan pendapat di tengah masyarakat Jepang setelah terjemahan itu terbit. Sayangnya saya tidak mendapatkan informasi mengenai persepsi masyarakat Jepang atas terbitnya Max Havelaar di tahun 1942 ini. Namun ternyata, bila kita melihat dari aspek lain, dan jika dilihat dari kerja-kerja Sumitaka dalam menerbitkan beberapa buku ajar bahasa Belanda, tujuan ia menerbitkan Max Havelaar di sisi lain juga ingin mengenalkan bahasa Belanda—khususnya karya sastra—lebih jauh kepada orang-orang Jepang. Hal ini terbukti dari komentarnya dalam majalah Vlaanderen mengenai pekerjaan Timmermans: “Untuk waktu yang lama, Saya berhati-hati dalam memperkenalkan sastra Belanda di Jepang. Perusahaan penerbitan di sini tidak memiliki minat yang besar dalam penerbitan karya-karya Belanda dibandingkan karya-karya Inggris, Prancis, dan Jerman […] Sejauh ini Saya  memiliki kesempatan, bersama istri saya, untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya oleh penulis berikut dalam bahasa Jepang: Heyermans, Multatuli, van Eden, Gorter, H. Roland Holst, Kloos, Swart, Van de Woestijne, de Mont, dan Roef Basenau”.[11]

Ada spekulasi di kalangan pengkaji Multatuli—termasuk juga Kroesbroek—bahwa terjemahan buku tersebut dilarang dan dihancurkan tidak lama setelah terbit. Desas-desus tersebut memang beredar, tapi diskusi antara Remmelink dan Prof. Sato—murid Sumitaka—menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat dalam penghancuran edisi Jepang ini. Hal itu diperkuat oleh pengakuan putri Sumitaka, yang menyebut terjemahan ayahnya tidak pernah dihancurkan atau ditarik dari pasaran.[12] Sebaliknya, buku itu direkomendasikan untuk diterbitkan kembali oleh Asosiasi Publikasi dan Kebudayaan Jepang serta menteri pendidikan Jepang setelah perang.[13]

Catatan kaki:

    1. Pada masa ini, hanya Belanda—dari Eropa—yang boleh berdagang dan melakukan kontak walaupun terbatas hanya di Dejima.
    2. Setelah terjadinya peristiwa Komodor Perry yang memaksa Jepang untuk membuka pelabuhannya, bahasa Belanda secara bertahap mulai menurun penggunaannya, dan bahasa Inggris, Prancis, serta Jerman menggantikannya. Lihat Asakura Sumitaka, “De Nederlandse taal in Japan”, Jaargang 10, 1966, hlm. 21-25.
    3. Bambang Wibawarta, “Dejima, VOC, dan Rangaku”, Wacana, Vol. 10, No. 2, Oktober 2008, hlm. 253.
    4. Rudy Kousbroek, “Een spookeditie van de Max Havelaar”,  HRC Handelsblad, 08 November 1991. Kousbroek memberikan judul spookedite (edisi hantu/horor) karena baru diketahui pada 1991 dan asal-usulnya masih belum jelas.
    5. Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. (Depok: Komunitas Bambu, 2015), hlm. 256.
    6. Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde. (Leiden: Maatschappij der Nederlandse Letterkunde, 1979), hlm. 27.
    7. Asakura Sumitaka, “De Nederlandse Taal in Japan”, Ons Erfdeel, Jaargang 10, 1966, hlm. 23. Pada tahun-tahun tersebut mulai banyak orang-orang Jepang yang datang ke Hindia-Belanda, dan beberapa diindikasikan sebagai mata-mata. Apakah Sumitaka juga termasuk dalam bagian jaringan ini? Lihat Meta Sekar Puji Astuti, Apakah Mereka Mata-Mata?: Orang-orang Jepang di Indonesia (1868-1942). (Yogyakarta: Ombak, 2008).
    8. William Remmelink, “Max Havelaar”, NRC Handelsblad, 6 Desember 1991. Remmelink menulis kolom di surat pembaca, menanggapi artikel yang ditulis Kousbroek.
    9. C. Schepel, “Max Havelaar”, NRC Handelsblad, 22 November 1991. Sama seperti Remmelink, Schepel juga menulis kolom surat pembaca untuk mengoreksi artikel Kousbroek. Kousbroek keliru menerjemahkan ‘ran-in seigi wo sakebu . . .’ sebagai ‘Hindia Belanda menyerukan keadilan’. Menurut Schepel, judul kecil tersebut harus dibaca sebagai klausa dari judul utamanya ‘Max Havelaar’. Jadi subjeknya adalah ‘Max Havelaar’, bukan Hindia Belanda. Oleh karena itu penerjemahan yang pas bagi Schepel adalah ‘Max Havelaar: Menyerukan Keadilan untuk Hindia Belanda’.
    10. Rudy Kousbroek, Op.cit.
    11. “Timmermans’ werk in het buitenland Stemmen Vanover de grenzen”, Vlaanderen, Jaargang 16, 1967, hlm. 168.
    12. William Remmelink, Op.cit.
    13. Loc.cit.
Jam Kunjungan

08.00-16.00 WIB, Sabtu-Minggu sampai 15.00 WIB. Senin dan Libur Nasional Tutup

Museum Location

Jl. Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten.