Bung Karno “Nyaba” Banten. Bagian I, Tahun 1951.

  • September 5, 2022
  • 14 Min Read

Kajian oleh Bada untuk pengantar pameran arsip foto Bung Karno di Banten.

Untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan (17 Agustus 1945) dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (19 Desember 1949), Bung Karno menginjakkan kakinya kembali di Banten, tepatnya pada 1951. Sebelumnya ia pernah datang ke Banten—walaupun hanya singgah—pada 1938. Ketika itu, saat masih menjadi tahanan politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda, Bung Karno dipindahkan dari Flores ke Bengkulu. Merak menjadi tempat persinggahan Bung Karno, sebelum melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Tanjung Karang, Lampung, disambung jalur darat menggunakan bus ke Bengkulu.[1]

Adapun pada 1944, Bung Karno pernah datang ke Bayah, Kabupaten Lebak. Ia adalah kolaborator Jepang dalam pengerahan romusha di Banten Selatan. Kala itu para romusha tengah melaksanakan pembangunan rel kereta api sepanjang 89 kilometer dari Saketi, Pandeglang, hingga tambang batu bara di Bayah. Di sana Bung Karno menyampaikan pidato untuk membakar semangat para romusha agar membantu Jepang, sebagai Saudara Tua yang tengah menghadapi sekutu.[2]

Bagi Bung Karno, Banten bukanlah tempat yang asing, hanya sepelemparan batu dari ibukota Jakarta. Kunjungannya pada 1951 kali ini bukan sebagai tahanan politik ataupun kolaborator di masa perang, melainkan sebagai presiden dari bangsa yang baru seumur jagung. Tapi apa yang melatarbelakangi lawatan Bung Karno pada tahun itu? Mengapa Banten yang dipilih?

Bila ditelisik lebih jauh, masyarakat adat Baduy dalam keadaan tertentu biasa mengirim utusan untuk mengunjungi presiden—di samping juga silaturahmi ke bupati Lebak dan gubernur Serang pada tradisi seba.[3] Mereka beberapa kali bertemu Sukarno. Setahun sebelum kunjungannya ke Banten, Bung Karno menerima dua orang warga Baduy di Istana Negara.[4] Jadi apakah kunjungan bung Karno  Ke Banten setelah kemerdekaan ini adalah lawatan balasan atas kunjungan warga Baduy ke Istana Negara?

Gambar 1. Ibu Negara Fatmawati mendampingi Presiden Soekarno menerima utusan Baduy di Istana Negara, Jakarta, pada 1950. (Sumber: Historia)

Di sisi lain, banyak diketahui bahwa Bung Karno merupakan seorang orator ulung. Sampai-sampai, pemberitaan surat kabar Belanda, Amerika, dan lainnya menyebut Bung Karno seorang yang bisa menghipnotis orang. Cindy Adams yang menulis biografi Sukarno pun memberikan judul kecil “penyambung lidah rakyat” dalam bukunya. Banten menjadi panggung yang bagus bagi Bung Karno untuk mengobarkan semangat rakyat, terlebih jaraknya cukup dekat. Selain itu, konsolidasi massa di wilayah ini juga penting, mengingat pada periode revolusi (1945-1949), Banten masuk ke dalam peri-peri kekuasaan Belanda. Maka dari itu, kobaran semangat agar tetap berpihak kepada Republik perlu digelorakan di wilayah Banten.

Kunjungan 1951.
Berdasarkan agenda yang dipublikasikan, Bung Karno menyampaikan pidato di Merak, Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, Leuwidamar, dan Tangerang yang  dijadwalkan dari 3 hingga 5 September. Rombongan kepresidenan berangkat Senin pagi dari Istana Merdeka ke Tanjung Priok, di mana ia akan melakukan perjalanan dengan kapal ke Merak. Perjalanan kemudian dilanjutkan menggunakan mobil, melalui Tasikardi dan Banten Lama menuju Serang, tempat Bung Karno akan berpidato pada rapat massa di sore hari. Pada Selasa Pagi, Bung Karno dijadwalkan menuju Pandeglang, Rangkasbitung, dan Leuwidamar. Setelah berpidato di pertemuan pemuda di Rangkasbitung pada Rabu pagi, rombongan akan kembali ke Jakarta melalui Petir, Balaraja, dan Tangerang, tempat pertemuan massa terakhir.[5] Agenda yang dipublikasikan di surat kabar sejak 31 Agustus ini benar terjadi. Beberapa media online menyebut Soekarno batal ke Banten pada 1951 dan terdapat narasi tumpang tindih antara kunjungan di tahun 1951 dan 1957.[6] Oleh karena itu tulisan ini juga mencoba meluruskan narasi serta mencoba menjelaskannya secara kronologis.

Obrolan di Geladak Kapal
Di atas kapal perang jenis korvet bernama “Banteng”—kendaraan yang ditumpangi Bung Karno menuju Merak—yang berlayar melintasi Laut Jawa, di bawah sinar matahari pagi yang sejuk, terjadi percakapan tentang headhunter dan hipnotisme antara Bung Karno dan Joseph Ellis. Ellis yang menyebut dirinya sebagai petualang dan pelancong asal Amerika, menunjukkan sebuah pamflet. Isinya mengenai Jawa—yang selalu dibawanya dan menunjukkannya kepada pemuda dan orang tua di Amerika berkali-kali—, termasuk pakaian, tarian, dan lainnya. Sampai pada satu titik, ia menunjukkan gambar dan berkata pada Bung Karno, “senjata pemburu kepala!”. Bung Karno sedikit terkejut, bertanya apakah Ellis telah bertemu dengan seorang pemburu kepala? Ellis menjawab “tidak, tidak pernah”. Bung Karno meyakinkannya bahwa mereka tidak pernah ada.[7]

Gambar 2. Kapal korvet "Banteng" membawa rombongan Presiden Sukarno di Pelabuhan Merak. (Sumber: ANRI, Inventaris Foto Kempen Jawa Barat 1951 No. JB5101/148)

Ada keheningan di mana Ellis tenggelam dalam perenungan yang mendalam. Pastilah ada kekecewaan yang menghancurkannya karena pamflet itu selalu dibawa olehnya. Rasa kecewanya itu singkat hilang tanpa bekas. Ia membungkuk kepada presiden lalu bertanya kembali: “Yang Mulia, apakah Anda menghipnotis publik?” Bung Karno pun menjawab, “itu tentu saja bukan masalah hipnotis ketika penonton mendengarkan pidato, tetapi karena berbicara dari kepala ke hati, karena menyebarkan cita-cita yang dirasakan dan digambarkan oleh yang mendengar”. Bung Karno melanjutkan: “ketika berbicara kepada kaum muda, kata-kata itu datang dari lubuk hati yang paling dalam dan langsung menuju ke hati mereka yang mendengarnya”. Ellis menjadi diam untuk mencerna jawaban itu, tetap diam, sampai gunung-gunung Banten menjulang di cakrawala yang kabur.[8]

Tiba di Merak, Menuju Serang
Bung Karno tiba di Merak sekitar pukul satu siang, disambut oleh Residen Banten, Tubagus Bakri—dan pembesar lainnya—yang menemuinya di atas kapal.[9] Ia lalu turun dan berdiri di podium tinggi di area dermaga. Kedatangannya disambut dengan antusias. Pada kesempatan itu Bung Karno bercerita mengenai dirinya yang juga berada di teluk Merak tiga belas tahun lalu, sebagai tahanan yang dipindahkan dari Flores ke tempat pengasingannya yang baru di Bengkulu:“Dan sekarang saya kembali kepada Anda sebagai Presiden Republik Indonesia yang merdeka. Kita berhutang budi kepada Allah dan kepada rakyat kami yang berjumlah tujuh puluh juta jiwa, yang menginginkan kebebasan ini”

Gambar 3. Penduduk Merak sedang mendengarkan amanat Presiden, waktu diadakan rapat di pelabuhan. (Sumber: ANRI, Inventaris Arsip Foto Kempen Jabar 1951 No. JB5101/144)
Gambar 4. Bung Karno naik ke atas mimbar di pelabuhan Merak. (Sumber: ANRI, Inventaris Arsip Foto Kempen Jabar 1951 No. JB5101/167)

Di hadapan ribuan orang yang mendengarnya di Merak kala itu, Bung Karno juga berbicara perlunya persatuan, pembangunan lebih giat dan jangan dihambat oleh percekcokan-percekcokan di antara sesama, serta semua upaya untuk mencapai tujuan itu.

Setelah presiden berpidato singkat di Merak, tujuan selanjutnya ialah kota Serang. Untuk menuju ke sana, rombongan melalui jalan Tonjong-Terate (nama sekarang), melewati kawasan Banten lama dan danau Tasikardi. Di telaga[10] yang sudah ada sejak periode kesultanan Banten ini, rombongan berhenti untuk istirahat sejenak, sambil minum kelapa muda. Di Serang, Bung Karno berpidato dalam bahasa Sunda. Ia mengatakan bahwa dalam menghadapi perjuangan pembangunan, pertama-tama bangsa Indonesia harus menyelamatkan negara dari pertentangan internasional.[11] Poin ini menarik, mengingat yang dimaksud dalam perkataan Bung Karno adalah perselisihan kewenangan Irian yang pada saat itu masih belum selesai.

Gambar 5. Bung Karno singgah di Telaga Tasikardi dalam perjalanannya ke Serang. (Sumber: ANRI, Inventaris Arsip Foto Kempen Jabar 1951 No. JB5101/145)
Gambar 6. Bung Karno tiba di kota Serang, disambut masyarakat yang menunggunya di sepanjang jalan. (Sumber: ANRI, Inventaris Arsip Foto Kempen Jabar 1951 No. JB5101/157)

Pada malam harinya, Bung Karno berada di rumah Tubagus Bakri. Di sana tokoh-tokoh Serang diperkenalkan kepada presiden. Hari pertama kunjungan berakhir dengan prosesi pawai obor oleh anak-anak sekolah dan pemuda-pemuda.[12] Selain golongan Tionghoa yang turut meramaikan pawai dengan liong dan barongsainya, dalam pemberitaan Pedoman, hal menarik lainnya adalah terdapat rombongan yang menyerupai orang-orang Irian. Mereka membacakan pernyataan supaya Irian diperjuangkan masuk ke dalam wilayah Indonesia.[13]

 

Gambar 7. Sebagai tuntutan atas masuknya Irian ke wilayah Indonesia, penduduk Serang berpakaian secara Irian. (Sumber: ANRI, Inventaris Arsip Foto Kempen Jawa Barat 1951 No. JB5101/184)

Pandeglang dan Rangkasbitung.
Esok harinya (Selasa, 4 September 1951), rombongan berangkat ke selatan menuju Pandeglang dan Rangkasbitung. Selama di perjalanan dari Serang ke Pandeglang, di jalanan tampak spanduk dan pamflet antara lain berbunyi: “Rakjat berdiri di belakang pemerintah”, “Supaja pemerintah konsekwen dalam pengangkatan Gubernur Djawabarat”, “Rakjat berdiri di belakang tindakan pemerintah”. Kebanyakan di antara pamflet-pamflet itu dilekatkan pada pohon-pohon dan ditulisi juga kata “Irian” untuk kembali ke Indonesia.[14] Pun mobil-mobil rombongan ditempeli secarik kertas dengan tulisan “Irian” pula.[15]

Tidak dijelaskan lebih jauh dalam surat kabar pada 1951 mengenai apa yang disampaikan Bung Karno pada pertemuan di Pandeglang. Pemberitaan di Java Bode hanya menyebutkan bahwa presiden di Pandeglang melihat sisa-sisa kerangka badak—yang ternyata masih hidup di cagar alam di Banten Selatan.[16] Akan tetapi dapat diduga, pidatonya di Pandeglang tidak berbeda jauh dengan yang disampaikan di Merak dan Serang, khususnya dalam upaya mempererat persatuan dan pembangunan. Sedangkan di Rangkasbitung, dalam pidato yang berlangsung sekitar 1,5 jam di alun-alun, Bung Karno mengimbau para pemuda Rangkasbitung untuk menjunjung tinggi cita-citanya. Di sini ia menggunakan kutipan terkenal, bahwa seseorang harus menggantungkan cita-citanya setinggi langit pada bintang-bintang.[17]

 

Gambar 8. Pemandangan dalam Rapat Umum di Alun-alun Rangkasbitung. (Sumber: ANRI, Inventaris Arsip Foto Kempen Jawa Barat 1951 No. JB5105/214)

Di Rangkasbitung juga Bung Karno menguraikan cita-cita politik dan sosial Indonesia, menyangkut struktur negara yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh ia menjelaskan, Indonesia yang berpenduduk 75 juta jiwa, terletak di antara dua benua dan di antara dua lautan, di mana keadilan berkuasa, cita-citanya hanya dapat dicapai jika semua orang bekerja keras untuk mencapai tujuan itu. Oleh karena itu presiden mengimbau dengan penuh semangat kepada para pendengarnya untuk bekerja keras. Menurutnya kerja keras orang kecil sama nilainya dengan kerja keras orang yang berpangkat tinggi.[18]

Leuwidamar: Kunjungan Balasan
Kunjungan Bung Karno ke Leuwidamar menguatkan dugaan bahwa ia datang ke sana untuk kunjungan balasan atas masyarakat Baduy. Tidak jelas apakah pertemuan yang diadakan itu berlokasi di pusat kecamatan atau di Kanekes (daerah Ciboleger). Berdasarkan foto inventaris Kempen Jawa Barat tahun 1951, atas hasil analisis awal, pertemuan itu berada di lapangan semacam alun-alun. Besar kemungkinan terjadi di pusat kecamatan Leuwidamar karena Kanekes ataupun Ciboleger tidak terdapat lapangan luas. Hal ini diperkuat oleh pemberitaan Java Bode, yang menyebutkan delegasi Baduy datang ke Leuwidamar untuk memberikan penghormatan kepada presiden.[19]

Sama halnya seperti di Pandeglang, belum diketahui apa yang Bung Karno katakan di Leuwidamar ini—pun tidak diinformasikan apakah ia berpidato atau tidak di sana. Terlepas dari itu, Bung Karno disambut dengan jabat tangan oleh Kasan, salah satu delegasi Baduy yang datang ke Leuwidamar. Sepertinya Asan adalah Jaro Pamarentah, pemimpin penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah. Sambutan itu dilanjutkan dengan menampilkan tarian yang diiringi musik angklung buhun.

Gambar 9. Bung Karno berjabat tangan dengan "petugas penghubung" Baduy, Kasan. (Sumber: Java Bode, 6 September 1951)
Gambar 10. Pertunjukan seni angklung buhun oleh masyarakat adat Baduy di Leuwidamar. (Sumber: ANRI, Inventaris Foto Kempen Jabar 1951 No. JB5101/130)
Gambar 11. Bung Karno mengobrol dengan Kasan, sembari melihat pertunjukan. (Sumber: Ibid dengan gambar 8 No. JB5101/213)

Bung Karno punya tempat tersendiri bagi orang-orang Baduy. Kedekatan emosional itu sudah terjalin sejak awal republik Indonesia berdiri dan dibuktikan dengan kedatangannya ke Leuwidamar. Ada anekdot di kalangan masyarakat Baduy, bahwa Presiden Indonesia hanya Sukarno, setelah itu hanya penggantinya saja. Terlepas dari itu, Bung Karno menginap di Leuwidamar, esoknya Ia akan melakukan perjalanan pulang ke Jakarta.

Perjalanan Pulang: Meninjau Bendungan Pamarayan, Pertemuan Terakhir di Tangerang, dan Kembali ke Jakarta.
Rabu pagi, 5 September 1951, Bung Karno kembali ke Jakarta. Ia tidak langsung pulang, tapi singgah dahulu di Bendungan Pamarayan dan agenda terakhir menemui massa di Tangerang. Di perjalanan, masyarakat Balaraja, Petir, dan beberapa tempat lain antara Rangkasbitung dan Jakarta, ingin melihat presiden di depannya. Setiap saat, Bung Karno menaiki kap mobil jipnya saat melewati desa-desa yang dilalui. Sesekali ia juga berpidato singkat di hadapan hadirin yang melihatnya.[20]

Di Pamarayan, Bung Karno meninjau bendungan yang dibuat sejak zaman Belanda. Bendungan itu mengairi sekitar 24 ribu hektar sawah di Banten Utara dan Barat Laut. Di sana ia memberikan arahan pada masyarakat sekitar untuk giat bekerja. Hal itu diungkapkan karena sekitar tujuh ribu hektar sawah di kawasan itu ditumbuhi alang-alang, dan irigasinya tersumbat oleh wabah air.[21] Selain sawah-sawah yang terabaikan itu, ada 14 ribu hektar kolam ikan yang tidak ada pekerjanya dan diabaikan. Presiden berharap, 120.000 orang akan dapat melakukan migrasi ke daerah ini dari tempat-tempat-tempat lain yang memiliki surplus penduduk lebih, khususnya di Jawa.

Selain Bung Karno, Jusuf Adiwinata—kepala Jawatan Imigrasi Indonesia dan seniman karikatur—juga berbicara di bendungan Pamarayan saat itu. Menurutnya, rakyat tidak boleh menjadi pengemis dan harus bekerja keras. Karena dengan kerja keras, seseorang mampu untuk lebih banyak memberi, dan siapa pun yang ingin memberi harus memiliki lebih banyak dari yang dia butuhkan untuk kebutuhannya. Adiwinata juga mengambil kutipan Al-Quran dari surat Al-Baqarah, mengatakan bahwa Tuhan memberikan kepada manusia bumi dan langit, menyebabkan air sungai mengalir, dan menghasilkan buah-buahan untuk manusia. Oleh karena itu manusia harus mengerahkan kekuatannya untuk melayani Tuhan agar menjadi seperti sebutir benih, menghasilkan tujuh bulir, di mana setiap bulir itu menghasilkan seratus biji bulir.[22] Kutipan tersebut sepertinya dimaksudkan untuk menarik perasaan religius orang-orang Banten, agar giat bekerja keras sesuai pedoman agama. Dari sini juga, di Pamarayan, Adiwinata memunculkan moto agar mengobar semangat orang Banten, “Siapa pun yang berani mati, sekarang harus berani hidup”.

Di Tangerang, Bung Karno bertemu dengan massa di lapangan olahraga. Di awal pidatonya, ia memberikan gambaran tentang perjuangan kemerdekaan hingga melahirkan proklamasi 17 Agustus 1945 dan mengenang tahun-tahun awal revolusi.[23] Bung karno mengajak hadirin untuk mengingat semangat persatuan itu. Lagi-lagi, di sini Bung Karno menyinggung polemik Irian. Menurutnya, jika benar-benar satu, Irian akan kembali pada Indonesia. Terakhir, perlunya kerja keras kembali menjadi salah satu tema utama, seperti yang telah dikatakan di Serang hingga Pamarayan.

Setelah pertemuan dengan massa di Tangerang berakhir, rombongan kepresidenan kembali ke Istana Merdeka dan sampai pada pukul setengah tujuh malam. Di tempat terakhir ini pula Tubagus Bakri, yang mengikuti presiden lawatan di Banten berpamitan.

Akhir: Apa yang perlu dipahami dari Kunjungan Bung Karno ke Banten?
Ketika saya membaca pemberitaan di surat kabar, pada periode selanjutnya Bung Karno memang melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang jauh dari Ibukota. Setelah kunjungannya ke Banten, Bung Karno juga melakukan lawatan ke Pulau Bangka. Ini adalah cara praktis dalam konsolidasi massa, berpidato dari satu tempat ke tempat lain. Cara yang sudah rutin Bung Karno lakukan sebelum resmi menjadi presiden ini terbukti berhasil menggugah semangat rakyat—hipnotis, seperti yang disebutkan oleh Ellis, dan bicara dari kepala ke hati, seperti kata Bung Karno.

Banten, sebagai salah satu wilayah terdekat dari ibukota Jakarta, tampaknya dianggap sebagai salah satu tempat penting bagi konsolidasi massa yang dilakukannya. Jarak Banten yang tidak terlalu jauh dari ibukota, tetapi bekas wilayah kekuasaan Negara Pasundan bentukan Belanda pastilah membuat Bung Karno merasa perlu mengunjungi masyarakat Banten. Hal itu terlihat dari agenda dan titik-titik kunjungan—Bung Karno mengunjungi nyaris semua pusat pemerintahan di Banten, termasuk pusat kediaman masyarakat Baduy.

Di sisi lain, kunjungan ke Baduy juga terkesan lebih intim karena Bung Karno langsung datang menemui warga Baduy di tempat kediamannya. Tidak jelas apakah kunjungan tersebut dimaksudkan sebagai lawatan balasan atau bukan. Namun, kunjungan tersebut jelas menunjukkan bahwa Bung Karno menghormati warga Baduy sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Aksinya tersebut tentu saja mengundang simpati dari masyarakat Baduy pada khususnya, dan masyarakat Banten pada umumnya, sekaligus menunjukkan kapabilitasnya sebagai konsolidator massa yang ulung.

Catatan akhir:
[1] Demon Fajri, “Kisah Soekarno saat Pengasingan di Ende, Terkena Malaria hingga Dipindahkan ke Bengkulu : Okezone Nasional”, diakses pada 29 Juli 2022.
[2] Hairul Alwan, “Jejak Soekarno di Banten, Datang ke Bayah Lebak Bakar Semangat Romusha – Suara Banten”, diakses pada 29 Juli 2022.
[3] Belum diketahui apakah masyarakat Baduy juga mengunjungi gubernur jenderal pada masa kolonial?
[4] Hendri F. Isnaeni, “Sukarno dan Baduy – Historia”, diakses pada 30 Juli 2022.
[5] De Preanger Bode, 31 Agustus 1951.
[6] Lihat Jejak Soekarno di Banten, Datang ke Bayah Lebak Bakar Semangat Romusha – Suara BantenSukarno ke Banten Batal Gunakan Jalur Laut | BantenNews.co.id -Berita Banten Hari IniKunjungan Prsiden Soekarno ke Rangkasbitung, Ini Isi Pidatonya Dihadapan Pemuda dan Rakyat Lebak – Referensi Berita.
[7] Indische Courant, 12 September 1951; Pedoman, 4 September 1951.
[8] Ibid.
[9] Pedoman, 5 September 1951.
[10] Surat kabar De Drije Pers tanggal 4 September 1951 memberikan penjelasan mengenai Tasikardi. Danau yang terdapat sebuah pulau kecil di tengahnya itu, menurut tradisi dulu, digunakan untuk mengasingkan wanita pemberontak.
[11] Pedoman, 6 September 1951.
[12] Indische Courant, 9 September 1951.
[13] Pedoman, 5 September 1951.
[14] Java Bode, 5 September 1951.
[15] Pedoman, 6 September 1951.
[16] Java BodeOp.cit.
[17] Java Bode, 6 September 1951.
[18] Ibid.
[19] Java Bode, 5 September 1951.
[20] De Preangerbode, 6 September 1951.
[21] Indische Courant, 15 September 1951.
[22] Ibid.
[23] Java Bode, 6 September 1951.

Jam Kunjungan

08.00-16.00 WIB, Sabtu-Minggu sampai 15.00 WIB. Senin dan Libur Nasional Tutup

Museum Location

Jl. Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten.