Pidato Kebudayaan Bonnie Triyana – FSM 2023

Pada 16 Juni 2023 bertempat di pendopo Museum Multatuli, Bonnie Triyana (sejarawan, pemimpin redaksi Historia.id, dan juga inisiator Museum Multatuli) membacakan pidato kebudayaan dengan judul “Sepuluh Warisan Kolonialisme dalam Kehidupan Kita“. Pidato kebudayaan ini adalah bagian dari rangkaian acara Festival Seni Multatuli (FSM) 2023, dihadiri para pemangku kepentingan, masyarakat luas, dan para pemerhati sejarah Indonesia. Adapun isi orasi kebudayaan bisa dibaca di bawah ini:

Sepuluh Warisan Kolonialisme dalam Kehidupan Kita

Pada hari Rabu, 14 Juni kemarin, Tweede Kamer (Parlemen Belanda) menyelenggarakan debat dalam rapat dengar pendapat antara anggota parlemen dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Ada dua hal yang menarik yang patut kita amati dari peritiswa tersebut: yang pertama, tentu saja, pengakuan pemerintah Belanda atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Kedua, yang membuat kita terheran-heran adalah ucapan Thierry Baudet, politikus sayap kanan, ketua partai Forum voor Democratie yang menyatakan bahwa seharusnya sampai hari ini Belanda tetap menjadi penjajah Indonesia. Bagaimana bisa pernyataan ini keluar dari seorang politisi yang hidup dalam suasana alam demokrasi di negeri barat, yang disebut-sebut banyak orang sebagai rujukan praktik kebebasan dan kemajuan.

Kolonialisme memang sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Namun kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini. Kolonialitas mengacu pada cara-cara di mana warisan kolonial berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya.

Istilah tersebut diciptakan oleh sosiolog Peru Aníbal Quijano dalam tulisannya  Colonialidad, Poder, Cultura y Conocimiento en América Latina (1998) untuk menggambarkan warisan kolonialisme dalam struktur kekuasaan dan kontrol, serta sistem pengetahuan. Matriks kekuasaan kolonial menekankan bahwa banyak hubungan kekuasaan institusional, sosial, dan budaya saat ini dapat ditelusuri kembali ke struktur dan budaya yang diterapkan selama periode kolonial.

Maka gerakan dekolonialitas yang mengidentifikasi metode di mana cara-cara pemikiran dan sistem pengetahuan Barat telah diuniversalkan menjadi penting untuk membongkar kolonialitas yang masih berlaku sampai sekarang. Dekolonialitas berusaha untuk menjauh dari Eurosentrisme ini dengan berfokus pada pemulihan cara-cara ‘alternatif’ atau cara-cara non-Eurosentris untuk menggali pengetahuan.

Dengan konsep ini, saya akan menelaah sejauh mana kolonialitas masih berurat-akar dalam kehidupan kita sehari-hari.  Dalam catatan saya, paling tidak ada sepuluh hal dalam kehidupan kita hari ini yang masih mewarisi dampak kolonialisme. 

Pertama: pendidikan. Pada awal kemerdekaan tahun 1945, dengan jumlah penduduk 61 juta, hanya lima persen (3 juta 50 ribu) masyarakat Indonesia yang bisa membaca dan menulis. Artinya sekitar 57.950.000 penduduk Indonesia saat itu masih buta huruf latin. Mereka yang mampu membaca adalah kelompok masyarakat yang bisa menikmati pendidikan di zaman colonial. Pemerintah colonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

Pendidikan adalah gambaran terang tentang bagaimana kolonialisme menciptakan disparitas dan non-inklusif. Sejak 1891 diberlakukannya perizinan Hindia Belanda kepada pemuda yang berminat pendidikan maka diberikan sekolah tanpa biaya. Namun yang diperbolehkan hanyalah kalangan priyai dan bangsawan saja. Sehingga tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa yang berinisiasi untuk menyediakan akses pendidikan bagi siapapun. Namun sekolah tersebut dianggap sebagai sekolah liar karena tidak sesuai dengan pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Pada September 1932, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dikenal sebagai Ordonansi Sekolah Liar yang mengetatkan kontrol terhadap sekolah-sekolah swasta. Salah satu pasal pentingnya adalah sekolah swasta harus mendapatkan izin operasi dari pemerintah daerah. Untuk mendapatkan izin, pertama-tama para guru di sekolah itu harus memiliki ijazah sekolah negeri atau yang disubsidi pemerintah dan izin akan keluar bila pemerintah setempat menganggap sekolah itu bukanlah ancaman terhadap “ketentraman dan ketertiban”.

Ordonansi ini menjadi ancaman nyata bagi sekolah yang tidak mendapatkan izin pemerintah. Taman Siswa termasuk dalam Sekolah Liar. Tercatat sebanyak 1.633 sekolah swasta dengan status liar pada tahun 1936. Padahal pembelajaran dalam sekolah liar jauh lebih membebaskan dan memperbolehkan seluruh lapisan untuk mengakses pendidikan.

Namun sekolah tersebut tidak mendapatkan subsidi atau biaya dari pemerintah. Sama halnya dengan keadaan pendidikan saat ini. Karena pemerintah belum sepenuhnya memberikan pendidikan yang merata, maka eksistensi sekolah-sekolah swasta sangat membantu mereka yang tidak mendapatkan sekolah negeri. 

Sementara itu hari ini, banyak orang tua dari kelas menengah dan atas mengirim anak-anak mereka ke sekolah berkurikulum internasional dengan fasilitas pendidikan yang jauh di atas mutu rata-rata sekolah negeri yang disediakan pemerintah. Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu.

 

Kedua, jejak feodalisme dalam praktik politik.  Feodalisme menjadi hal paling erat di sistem politik Indonesia. Sejak tahun 1602 terbentuknya VOC sebagai solusi dari persaingan harga rempah-rempah yang semakin liar. Namun organisasi ini justru memberikan dampak terhadap sistem birokrasi Indonesia yang buruk. Dalam sistem ini mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elit yang berdinas (Jan, Breman.2014). Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan , dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan gubernur VOC tidak tahu. Ternyata feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki. Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya.

Dalam majalah terbitan serikat buruh di dewan kota seperti Surabaya, Semarang, dan Bandung mengungkapkan secara gamblang bahwa orang-orang Indonesia terdidik ingin menganggap diri mereka sebagai “tuan besar” yang lebih superior di atas pekerja rendahan seperti juru ketik, klerk, mandor, atau buruh kasar. Sebab itulah mereka memilih membentuk serikat sendiri atau bergabung dengan serikat buruh Eropa. Buruh mewariskan sisa-sisa sikap “feodal” di Indonesia, khususnya di kalangan mereka yang berasal dari suku Jawa.

Sementara itu Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti. Mereka mendapatkan sepersepuluh atau dua kali lipat hasil kerja paksa dari pribumi. Bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya. Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan. Namun dalam kenyataannya, pada tahun 1797 sering ditemukan beberapa kasus bahwa bupati pribumi absen dan menelantarkan kerjaannya. Hal ini tidak sepadan dengan rumah yang besar serta pengiringan mereka yang terbuat dari tiang dan kurungan besi. Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral.

Ketiga, bidang kesehatan. Pemberlakuan tanam paksa pada 1830 mengakibatkan kesejahteraan masyarakat menurun. Upah yang rendah bahkan terkadang tidak diberi upah, mengakibatkan masyarakat pribumi tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan kalori untuk kekuatan fisiknya tidak bisa terpenuhi sehingga mereka mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Karena secara dasar saja kurang terpenuhi, maka tidak ada jaminan mereka bisa memenuhi gizi secara sempurna. Idealnya setiap orang harus mengonsumsi lebih dari 2.000 kalori perhari, namun ini tidak terwujud karena ketidakmampuan mereka dalam membeli bahan pangan. Tahun 1919 Hasil dari “Janji November” adalah dibentuknya komisi untuk menyelidiki kemungkinan ditetapkannya upah minimum di Jawa.

Terdapat bukti-bukti yang disajikan sebelumnya kepada komisi cukup jelas menunjukkan tingkat kekurangan gizi secara sistematis di kalangan buruh di Jawa. Mereka mengacu khusus nya kepada fakta bahwa biaya makan seorang dewasa di penjara Batavia setiap harinya mencapai 42 sen, dan angka ini dianggap oleh pihak berwenang di penjara sebagai kebutuhan dasar untuk mencukupi kebutuhan gizi.

Dengan menggunakan data ini, mereka menyatakan bahwa satu keluarga di Batavia, yang terdiri dari suami, istri dan dua anak akan mengalami kekurangan gizi jika mereka tidak mendapatkan pendapatan sebesar satu gulden dua puluh lima sen dan satu gulden lima puluh sen setiap harinya untuk makanan saja, atau antara satu gulden 25 sen dan satu gulden 75 sen secara total. Nyatanya, buruh- buruh pribumi Indonesia di Batavia seringkali hanya mendapatkan upah tidak lebih dari 30-40 sen setiap hari. Bahkan jika jumlah upah ini digandakan, cukup jelas bahwa satu keluarga hanya mendapatkan setengah dari apa yang mereka butuhkan sesuai standar kebutuhan hidup minimum. Dalam pandangan ini, pasar sama sekali tidak pernah dapat memperbaiki persoalan ini karena melimpahnya jumlah tenaga kerja.

Kurangnya kecukupan gizi ini juga menjadikan masyarakat kita bertendensi pada stunting. Ketidakmampuan dalam mencukupi gizi setiap anak, menjadikan tumbuh kembangnya terhambat. Sejak tahun 2000, Indonesia masih terus menghadapi permasalahan stunting. Tahun 2016 ke 2022 angkanya mengalami eskalasi per tahunnya. Saat ini stunting mengalami prevalensi sebesar 21,6%. Ini buruk karena stunting tidak hanya menyerang tinggi badan, namun juga kemampuan anak dalam belajar serta mental mereka dalam menghadapi segala hal. Sehingga meningkatnya angka ini menjadikan masyarakat kita terus berada pada stagnasi kualitas sumber daya manusia karena secara gizi tidak terpenuhi. Padahal itu adalah hal paling dasar yang menjadikan penunjang kualitas lainnya.

Keempat, diskriminasi rasial. Praktik ini secara formal dimulai sejak 1812. Pada tahun tersebut disetujui Perjanjian 1 Agustus antara Inggris dengan Keraton Yogyakarta yang mana pada pasal 8 menetapkan bahwa semua orang asing dan orang Jawa yang terlahir di luar wilayah kesultanan harus diadili di bawah hukum pemerintah. Pasal ini dirancang untuk melindungi orang Tionghoa dan sangat menyebabkan banyak masalah. Dua tahun setelahnya, yakni pada 1814, Pengadilan Residen resmi didirikan dan semua perkara pengadilan yang melibatkan orang Tionghoa, orang asing, dan orang-orang yang terlahir di luar wilayah keraton Jawa tengah bagian selatan, diadili di bawah “Hukum Pemerintah” (Government Law) yang merupakan perpaduan antara hukum romawi dan hukum sipil Belanda. 

Pada 1817, diskriminasi semakin terlembaga dengan rilisnya Peta Jawa milik Raffles yang berjudul Map of Java Chiefly from Surveys made during the British Administration Constructed in Illustration of an Account of Java by Thomas Stamford Raffles. Raffles menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah (gagasan “mitos pemalas”). Temuan lain ditemukan pada buku harian prajurit Belgia, Erembault pada 1827. Di sana ia mengaku memiliki kekaguman terhadap orang-orang Jawa yang ganteng dalam rombongan sang Pangeran membuka wawasan mengenai dunia sosial di mana ia tinggal. Untuk seorang perwira Belgia, seorang manusia dengan daya bayang yang terbatas, terdapat sebuah hierarki tipe etnis yang terdefinisi dengan jelas, dengan orang Eropa berada di puncak, dan orang Jawa berada di bawah, di tingkat dua, tepat di atas “manusia liar” (sauvages), “manusia setengah liar” (demi-sauvages), dan “orang kulit hitam (noirs) dari luar kepulauan”. Diskriminasi rasial ini tetap eksis dengan seringnya ditemukan ujaran kebencian, hingga stereotip dan labelling yang berkonotasi buruk terhadap ras tertentu.

Kelima, trauma terhadap paham kiri dan kanan (Islam) juga tidak tertinggal untuk diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Trauma pada islam dimulai pada 1816 atau lebih tepatnya ketika Mayor Nahuys van Burgst menjabat sebagai Residen Yogyakarta. Deskripsi yang menggambarkannya adalah “seorang Tuan Besar dengan sepasang tanda pangkat yang tebal. Nahuys merupakan kebalikan dari pendahulunya–seorang Skotlandia berwajah masam dan terpelajar–John Crawfurd. Nahuys secara terang-terangan memandang rendah masyarakat dan budaya Jawa, terutama terhadap para santri yang berkelana di lingkungan Islam Jawa, tempat Pangeran Diponegoro tumbuh dewasa.

Nahuys sangat keras dalam berhadapan dengan komunitas keagamaan. Ia sesumbar kepada atasannya di Batavia mengenai taktik “tangan besi”-nya: ia memerintahkan penahanan seorang ulama yang sedang mengajar di pesantrennya. Ia juga melaporkan, tindakan yang sama telah diambil oleh asisten-residen setempat terhadap guru-guru agama di Salatiga yang membandel dengan “hasil yang sangat memuaskan.” Perilaku kebencian menjadi semakin mengeras setelah pecah Perang Jawa pada 20 Juli 1825, ketika kata “santri”menjadi kata kata hinaan. Mereka yang dicurigai memiliki rasa simpati terhadap santri–sebutan untuk semua yang memihak pada Diponegoro–pun ditandai untuk diberi perlakuan khusus. Bahkan hingga saat ini, Islamis masih dipandang sebagai kelompok yang seharusnya tunduk dan tidak patut bersuara.

Sedangkan trauma terhadap paham komunis berakar sejak tahun 1901. Pada mulanya, sistem penjajahan VOC berubah menjadi sebuah jajahan bersistem liberal. Perkebunan yang semula dimonopoli pemerintah, kini dapat dikelola oleh modal-modal swasta. Begitupun sistem kerja paksa dan rodi dihapuskan dan diganti dengan sistem kerja upah secara bebas. Perubahan ini berhubungan dengan semakin kerasnya arus kritik atas orientasi kebijakan terhadap daerah koloni. Kritik tersebut mengarah pada gugatan atas kebijakan kolonial yang eksploitatif dan menindas. Pendudukan yang imperialistik ini dipandang kaum kiri Belanda hanya memberikan keuntungan sepihak melalui eksploitasi dan pengurasan sumber alam. Arus kritik ini menekan pemerintah melakukan “balas budi.” Sebagai hasilnya, muncullah gagasan politik “balas budi” atau disebut sebagai etische politic. Pemerintah kolonial akhirnya merasa geram terhadap eksistensi kaum kiri, dan traumatis itu diwariskan hingga peristiwa G30S.

Kebencian terhadap komunis diperparah pada Gerakan 30 September 1965. Peristiwa yang membunuh 7 perwira Angkatan Darat membuat tendensi bahwa dalang utamanya ialah Partai Komunis Indonesia. Penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh 2 battalion yaitu 454 dan 530 bertendensi menyudutkan bahwa operasi tersebut dipimpin oleh PKI karena keterlibatan Untung dan Aidit. Kebencian masyarakat terhadap komunis semakin menguat karena kekhawatiran ideologi tersebut menyerang keamanan masyarakat dan negara. Trauma ini menyebabkan korban jiwa terhadap anggota dan simpatisan PKI mencapai 1 juta jiwa (menurut data Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dalam laporannya). Alhasil sampai saat ini masih legal untuk tidak memperbolehkan hal-hal yang bernuansa komunis. Masyarakat juga menjadi takut dengan orang-orang yang mulai terindikasi komunis. 

Keenam, kekerasan yang menjadi resolusi ketika merespon segala hal yang terjadi di status quo. Berangkat dari tahun 1854 terdapat Undang-Undang Negara 1854 yang memiliki alat yang lebih mendasar dalam melakukan kontrol negara. Ada pasal yang memberi “kekuasaan luar biasa” kepada Gubernur Jenderal di atas Hukum Pidana dan tidak bisa digugurkan oleh pengadilan atau lewat banding. Melalui pasal ini, orang-orang yang lahir di Hindia Belanda yang dianggap menjadi ancaman terhadap pemeliharaan “ketentraman dan ketertiban” dapat dilarang tinggal di wilayah tertentu atau diasingkan ke tempat lain dalam wilayah koloni untuk waktu tak terbatas. Pemerintah Hindia Belanda juga menyimpulkan bahwa untuk menguasai wilayah Hindia Belanda, maka diperlukan kebencian antar mereka agar mereka mudah untuk dikuasai dan lemah untuk diduduki. Sehingga cara yang digunakan ialah memberikan pantikan untuk setiap daerah saling membenci dan bersaing. 

Terlihat pada terjadinya perang-perang antar saudara seperti Perang Padri. Mereka terus diadu domba sehingga fokus militerisme hanya kepada lawan yang sepadan dengan mereka. Bahkan militerisme sering digunakan untuk menyelesaikan masalah internal serta menghukum bawahan mereka. Tahun 1957 Militer didesain tidak hanya untuk pertahanan, tetapi juga membangun kekuatan politik sehingga mendorong militerisasi di kalangan masyarakat sipil. Bahkan Angkatan Darat membentuk Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer (BKSPM). Hal ini digunakan sebagai alat kekuatan sosial-politik. Sehingga orientasi yang dibangun ialah untuk mempertahankan legitimasi sosial politiknya di masyarakat. Alhasil apapun yang dilakukan oleh masyarakat yang berpeluang menghancurkan eksistensi pemerintah layak untuk ditindak secara militer. Mereka bisa saja dihukum bahkan dibunuh jika kontra dengan negara. Contohnya ketika ada golongan yang kontra dengan negara maka bisa dijustifikasi untuk ditumpas seperti DI/TII, PKI, dan gerakan disintegrasi lainnya.

Pola kekerasan ini masih terus ada bahkan menjadi warisan di masyarakat. Karena masyarakat melihat bahwa pemerintah menerapkan solusi setiap masalah memang sah-sah saja menggunakan kekerasan. Inilah yang menjadikan tahun 1965 Masyarakat terarahkan sebagai masyarakat yang melakukan tindakan persekusi bagi golongan yang menyimpang dan membahayakan eksistensi negara. Ditambah kasus Gerakan 30 September membuat masyarakat semakin marah dengan komunis. Sedangkan PKI juga melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang dianggap kontra revolusi. Saat ini kekeran terus menjadi warisan dan hal yang normal di masyarakat. Contoh kecilnya, kita sering berani menghakimi kasus inmoral di masyarakat dengan kekerasan pemukulan dan lainnya.

Ketujuh, adalah mitos buruh malas. Pada 1912 terdapat Laporan Kemerosotan Kesejahteraan yang menyebutkan bahwa terdapat pandangan yang menyebar luas perihal buruh-buruh Indonesia pemalas dan tidak memiliki keinginan meningkatkan kehidupan material mereka. Pandangan ini menegaskan bahwa buruh-buruh Indonesia memiliki sedikit kebutuhan, lebih sedikit dibanding buruh-buruh Tionghoa yang memiliki tingkat upah lebih tinggi untuk jenis pekerjaan yang sama. Sehingga sebagian besar orang Eropa semakin enggan untuk menaikkan upah buruh karena akan membuat mereka semakin tidak produktif.

Kondisi yang semakin mengenaskan bagi buruh pun membuat partai politik berlomba mendengarkan aspirasinya dan menjadikan buruh sebagai basis suara. Pada 1928, PSI membentuk serikat buruh yang dinamakan Persatuan Chaffeur. Ketua PSI cabang Surabaya, Wondosudirdjo, mengambil alih posisi ketua dan memberi jaminan bahwa organisasi ini adalah serikat buruh yang semata-mata bertujuan membantu para supir meningkatkan taraf hidup mereka. Di Surabaya saat itu terdapat 6.000 lebih supir kendaraan umum. Permasalahan yang mereka keluhkan adalah perlakuan sewenang-wenang polisi, termasuk umpatan kasar, dan terus-menerus terkena tilang atas aturan yang tidak mereka pahami karena semua aturan itu berbahasa Belanda. Dan semua proses pengadilan sama sekali diluar pemahaman mereka. Hal ini menjadikan buruh sebagai aktor yang sangat rentan untuk dieksploitasi, baik secara tenaga maupun materi berupa pungutan liar.

Masih di tahun yang sama, bergejolak upaya kaum buruh menuntut upah minimum demi kesejahteraan mereka. Namun hal ini ditolak oleh pengusaha yang diwakilkan oleh Ketua Sindikasi Pengusaha Gula yang menyatakan bahwa tanggung jawab industri di koloni adalah menghasilkan laba, bukan mengurusi kepentingan orang Jawa. Sindikasi Gula menolak keras upah minimum dengan alasan perekonomian saat ini tidak realistis dalam kondisi Indonesia. Bahkan hingga saat ini, buruh dan pengusaha masih sering berseberangan terkait upah yang harus dibayarkan.

Sementara pada tahun 1933, isu buruh memasuki babak baru yakni diskriminasi perempuan, keberpihakan penyediaan tenaga kerja, dan pungutan liar di lingkungan pabrik. Persoalan diskriminasi, sejak Agustus ditemukan fakta bahwa pegawai perempuan otomatis diberhentikan dari pekerjaannya ketika mereka menikah dan hanya mungkin dipekerjakan kembali sebagai pekerja temporer, jika memang tidak ada pesaing lain (dari kaum lelaki) yang mengejar lapangan pekerjaan yang sama. Hal ini menunjukkan ketidakadilan gender yang sangat patriarkis dan pewarisan hingga saat ini berevolusi menjadi pelecehan terhadap perempuan.

Perihal keberpihakan penyediaan tenaga kerja, PVPN menggelar Kongres pada bulan Desember yang berfokus pada isu buruh “kuli”, khususnya buruh Tionghoa impor.  Isu ini menjadi topik utama yang disampaikan dalam Kongres tentang bagaimana sulitnya orang-orang Indonesia tak berpendidikan untuk mendapatkan pekerjaan. Disampaikan juga bahwa banyak perusahaan negara dan swasta memiliki pekerja yang bukan “bangsa Indonesia”. Kongres menetapkan serangkaian resolusi menuntut pemerintah untuk lebih mengetatkan imigrasi sehingga peluang kerja tidak bisa dengan mudahnya diisi oleh orang-orang non-Indonesia. Kebijakan yang tidak berpihak pada tenaga kerja Indonesia masih diwariskan hingga saat ini yang mana sering ditemukan protes terhadap impor TKA.

Terkait pungutan liar, pabrik British American Tobacco Company di Cirebon ditemukan bahwa para buruh harus membayar 2 gulden kepada klerk untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan menambah sebanyak 5 sen setiap minggu untuk mempertahankan pekerjaan mereka itu. Padahal upah mereka hanya sebesar 1 gulden setiap minggunya. Memungut secara liar, menjanjikan keamanan dalam status kepegawaian, dan dijanjikan akan dikembalikan jika diberhentikan–padahal nyatanya tidak demikian–menjadi realitas yang harus dihadapi oleh buruh selaku kaum yang tidak memiliki daya tawar yang tinggi dan mau tidak mau harus mendapatkan uang walaupun sedikit. Bahkan hingga saat ini pungutan secara liar sudah merambah dalam urusan birokrasi dan tidak ada pembenahan secara menyeluruh.

Kedelapan, adanya stratifikasi sosial yang menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah. Struktur sosial masa Hindia Belanda terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas atas yang terdiri dari orang-orang Eropa, kelas menenang yang terdiri dari orang Timur Asing (Cina, Arab, India) , dan kelas bawah yang terdiri dari pribumi atau orang asli Indonesia. Pembagian ini menjadikan pembagian pajak yang tidak sesuai. Kelas bawah sang pemilik daerah asli justru diberikan pajak dan diwajibkan memberikan upeti kepada pemerintah. Sehingga diskriminasi dirasakan oleh masyarakat pribumi. 

Pembagian kelas ini masih terus menjadi budaya secara implisit di masyarakat. Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Ketika mereka sudah berada di strata atas maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi. Kebijakan yang menyusahkan untuk kelas bawah terus menguntungkan orang-orang di kelas atas. Diskriminasi ini menjadi buruk karena terus dilanggengkan dengan kekuatan kelas atas yang terus membuat sistem agar mereka terus menjadi penguasa.

Kesembilan, patriarki dalam politik. Survey terbaru yang diluncurkan beberapa  waktu yang lalu oleh lembaga survei Politika Research Counsulting (PRC) dan Parameter Politik Indonesia memaparkan hasil temuannya menegenai peluang kepemimpinan perempuan jika menjadi kandidat Pemilihan Presiden 2024. Penelitian cukup menarik karena dalam kesimpulan matematis tersebut 72,2 persen perempuan lebih setuju laki-laki dapat menjadi pemimpin nasional kembali. Hanya 7,2 persen responden yang menyatakan sikap mendukung calon perempuan, semetara 20,6 persen responden tidak memberikan jawaban. Kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis. Cara kerja kekuasaan ini masih berlaku hingga hari ini.

Kesepuluh, apartheid dalam pembangunan kota. Bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbgai fasilitas umum dan social bagi warganya, jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit.

 

Jam Kunjungan

08.00-16.00 WIB, Sabtu-Minggu sampai 15.00 WIB. Senin dan Libur Nasional Tutup

Museum Location

Jl. Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten.