“Karena kita sudah tahu, kita tertawa”.
Sebagai kesenian teater tradisi, tampilan Ubrug selalu menyuguhkan pakem-aturan yang khas sekaligus penanda bahwa di sana terdapat sistem pengetahuan Karuhun yang terintegrasi dengan komunitasnya, dalam hal ini kebudayaan Sunda.
Satu di antara pengetahuan Kahurun yang merembes dalam pertunjukan Ubrug Sobang, nampak dari perwujudan tokoh Ki Lengser dan Bi Lengser, di mana dua tokoh tersebut hadir di dua ruang narasi. Pertama, ruang narasi yang dibangun oleh Belanda serta Adipati Kelaparan, mereka mempresentasikan tokoh penjajah. Kemudian kedua, ruang narasi tokoh yang mempresentasikan jiwa-jiwa terjajah, dalam hal ini ruang narasi tokoh Saijah dan Adida beserta keluarganya. Kehadiran Ki Lengser dan Bi Lengser rupanya difungsikan untuk merajut kedua ruang narasi oposisi; Penjajah dan yang terjajah.
Berulang kali tokoh Adipati melontarkan dialog untuk menegaskan identitas mereka, seperti pada dialog “Kamana eta heh ingon-ingon kahirupan| heh itu ke mana hewan-hewan kehidupan”. Kalimat pada dialog ini mencitrakan bahwa mereka adalah laden penguasa. Namun pada dialog lain identitas mereka tampak berbeda seperti terlontar dari mulut Bi Lengser sendiri ketika ia menemukan tokoh bapak-ibunya Saijah sudah terkulai karena dianiaya “aduh.. karunya teuing eta jelema dikaniaya, hayu urang tulungan | aduh.. kasihan sekali itu manusia dianiaya, ayo kita tolong”.
Dari beberapa dialog di paragraf atas, kita mendapatkan identitas yang bias, di satu sisi mereka menjadi laden penguasa yang tak bisa berbuat apa-apa dan disisi lain mereka menolong orang-orang yang terjajah. Bila kita tidak jeli dalam menangkap narasinya, kedua tokoh tersebut seperti orang-orang munafik. Padahal identitasnya berfungsi sebagai poros akomodatif dengan penekanan bahwa persoalan hidup bukan hanya dimiliki oleh segolongan identitas yang mencitrakan buruk atau baik, tapi kedua oposisi itu hadir menjadi bagian dari hidup itu sendiri. Oleh sebab itu Ki Lengser dan Bi Lengser hadir dalam dua narasi, pun kehadirannya seolah tanpa diundang, ia hadir begitu saja.
Dalam narasi kesundaan, saya selalu teringat kajian-kajian brilian Jakob Sumardjo, barangkali ia akan menyetarakan tokoh-tokoh serupa Ki Lengser dan Bi Lengser dalam Ubrug Sobang dengan tokoh Kabayan atau pada cerita tokoh Gurugantangan yang diwakili oleh tiga tokoh pendampingnya: Perwakalih, Gelap Nyawang, dan Kidang Pananjung. Tokoh-tokoh tersebut pada dasarnya memiliki perwatakan yang sama, hanya saja tokoh itu bisa diwakili satu orang, dua orang bahkan tiga orang. Fungsinya untuk memberikan jeda kritis dalam struktur dramatik yang tegang, bersifat mengayomi baik kepada tokoh penguasa ataupun pada rakyat jelata, dan kehadirannya sebagai simbol pemikiran sunda yang selalu menetap, yakni Tri Tangtu di Buana | tiga ketetapan yang menjadi dasar berpikir Sunda.
Begitulah Sistem Pengetahuan yang saya tangkap dari sistem berpikir Karuhun Sunda, yang merembes dalam pertunjukan Ubrug Sobang dengan judul Adinda Perlaya, selain itu Pak Naryo menyebutkan juga beberapa pagu yang mesti dihadirkan di atas panggung, seperti oncor/obor/lentera, gamelan yang dipakai bernada Salendro, hadirnya tampilan ronggeng, dan narasi cerita.
Pagu-konvensi tradisi senantiasa mengiringi fungsinya yang adiluhung dan tidak sembarang, misalkan oncor, obor/oncor/lentera diartikan sutradaranya (Pak Naryo) sebagai penerang, bahwa cerita yang ditampilkan adalah pengingat, penuntun, bahkan ajaran yang mesti disampaikan kepada jiwa-jiwa yang membutuhkannya. Sebab kerap kali Ubrug dipentaskan pada acara nikahan, sunatan, atau acara-acara khusus untuk para penguasa yang membutuhkan nasihat/pandangan lain dari para seniman.
Tampilan Ubrug Sobang yang dibalut oleh konvensi tradisi, kiranya tak selalu mencerminkan kekolotan sebuah tampilan, sebab tradisi dapat dikatakan sebagai pengetahuan tradisi harus memiliki syarat: teruji oleh waktu dan syarat lainnya adalah dinamis.
Pertunjukan Ubrug yang ditampilkan kelompok Gentra Budaya Sobang, membuktikannya lewat variasi yang tak biasa. Salah satu variasi itu nampak pada pemanggungannya, karena biasanya panggung tradisi memakai bentuk panggung melingkar, di mana penonton dan pemain berbaur menjadi satu, dilihat dari segala arah dan tidak ada jarak pemisah, berbeda pada panggung Festival Teater Multatuli yang berbentuk proskenium, di mana penonton hanya melihat satu arah dan sedikit berjarak. Di sini Sutradara dan pemain tentu membutuhkan kepiawaian dalam bermain seperti menyesuaikan beberapa kemungkinan lain seperti aktor sadar pada lampu panggung, sadar posisi panggung dan pemusik, sebab aktornya merangkap sebagai Sinden dan penabuh alat-alat musik lain, panggung kemudian bocor dan sesekali terdengar celetukan “Ké heula aing karék nyinden | Sebentar saya baru selesai nyinden” sambil lalu ia tergesa naik ke panggung. Begitu dan bergitu.
Variasi itu nampak pula pada tokoh Saijah yang diperankan oleh Eka Priatna dan tokoh Max Havelaar yang diperankan Edi Santika. Baik Edi ataupun Eka, dalam mewujudkan perwatakannya sangat total dari kemunculan pertama hingga selesai, sedikit pun tak terganggu oleh tokoh-tokoh lain yang melawak atawa ngabodor. Kedua aktor ini sangat muda, saya curiga mereka sudah belajar keaktoran, baik langsung ataupun tidak dari buku sekolah ataupun pelatihan, sebab dalam tampilannya kedua aktor ini setia menjadi tokoh protagonis dalam cerita Adinda Perlaya, bahkan Eka (Saijah), nampak mengeluarkan ambekan yang luar biasa ketika ia tahu bahwa ibu dan bapaknya diperdaya oleh Penjajah. Seketika urat di lehernya menegang, mengepalkan tangan, ngotot, terpancang kaku, lalu berteriak-kesetanan hendak melunaskan dendamnya.
Kepiawaian bermain total seperti itu, kiranya menjadi bahan yang mesti dikuatkan kembali, dicarikan kemungkinan tampilan yang lebih proporsional, sebab bila terus-terusan tampil seperti itu, aktor akan mengalami pusing di kepala seolah melihat kunang-kunang yang beterbangan, sebab udara yang masuk melalui korteks tersumbat, bahkan kerap kali terjadi di kemudian hari akan mengakibatkan darah tinggi. Berbahaya untuk kelangsungan Eka atapun Edi.
Hal demikian oleh Stanislavsky disebut sebagai taktik “tegangan tinggi” di mana kondisinya serupa yang dimainkan oleh Eka, Stanislavski melalui tokoh Torstov menjawab model tampilan itu dengan ucapan : “Sekarang coba dengan pendekatan lain, lemaskan semua otot penghasil suaramu, hilangkan semua tekanan dan tegangan, lupakan permainan emosi, jangan terlalu perdulikan volume. Sekarang ucapkan frasa yang sama, tenang tapi dengan jangkauan nada seluas-luasnya dan ubahan tinggi-rendah sesuaikan dengan pesaan yang dialami. Hal-177. Membangun Tokoh”. Mungkin dengan begitu tampilan yang dibawakan oleh Eka akan menyasar perasaan yang terdalam dari penonton, bukan hanya mata membelalak tapi penonton ikut dalam kesedihan. Sekali lagi Eka bermain dengan total dan baik.
Berbeda dengan pendekatan yang dihadirkan oleh permainan Ki Lengser, Bi Lengser, Adipati, dua orang Belanda dan beberapa pemain lain. Tubuh mereka berbunyi, karena tubuh yang diwujudkan adalah tubuh yang disertai alunan musik, beberapa dagelan yang ditampilkan mengocok perut penonton, dan kita tahu dagelan-dagelan itu bukan tampilan bodoran baru, bahkan sering kali ditampilkan oleh kelompok bodoran lain, namun justru itu yang ditunggu-tunggu oleh penonton. Serta penonton tahu mereka harus tertawa ketika bodoran itu ada.
Keluguan dalam pengulangan bodor dan timming dialog yang dilucu-lucu bisa berarti olok-olok bagi narasi tragis yang dialami oleh Saijah dan Adinda. Sebuah ironi yang tak layak diulang pada zaman milenial ini.
Peri Sandi Huizche,
Penikmat Teater Banten
bergiat di Lab. Banten Girang.