Sementara itu Saidjah-Adinda sebagai drama epik dalam Max Havelaar diabadikan melalui nama perpustakaan, taman baca masyarakat, dan komunitas kesenian. Selain itu pemikiran dan karya Multatuli menetes dan diadaptasi menjadi puisi, film, dan teater.
Atas dasar itu Multatuli menjadi ikon dan bagian sejarah Lebak, muncul ide pendirian Museum Multatuli yang sudah dimulai sejak tahun 1990an. Ide penciptaan itu terus berlanjut di tahun 2000an. Tepatnya pada 2009, sudah ada wacana kembali pendirian museum, tapi baru terealisasi pada 2015.
Pada 2016, delegasi pejabat dan guru Pemerintah Kabupaten Lebak berkunjung ke Belanda. mengunjungi Arsip Nasional Belanda dan Museum Multatuli di Amsterdam. Kunjungan tersebut bertujuan untuk membangun komunikasi dan persahabatan antar lembaga guna keberlangsungan Museum Multatuli yang sedang dirintis di Lebak.
Setahun kemudian (2017) proses pengisian koleksi dan pembuatan story line museum mulai berlangsung. Terdiri dari pengadaan interior museum, film dokumenter, dan pengadaan patung interaktif Multatuli, Saidjah dan Adinda. Pada 11 Februari 2018 Museum Multatuli dibuka untuk umum. Peresmian museum dilakukan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar Farid dan Bupati Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya.
TEMA MUSEUM
Museum Multatuli bertemakan “museum antikolonialisme”. Museum ini menampilkan sejarah kolonialisme sebagai pengantar sampai dengan pergerakan antikolonialisme yang diceritakan dari berbagai sisi sebagai inti dari museum ini. Harapannya museum akan menjadi medium pembelajaran sejarah tentang bagaimana kolonialisme bekerja dan bagaimana pula sistem itu diruntuhkan oleh gerakan nasionalisme.
BANGUNAN
Bangunan Museum Multatuli saat ini berstatus cagar budaya yang sempat beberapa kali beralih fungsi. Ketika selesai dibangun pada 1930, bangunan tersebut digunakan sebagai kantor kawedanan. Pada 1950 dialihfungsikan sebagai kantor Markas Wilayah (Mawil) Hansip. Terakhir digunakan sebagai kantor BKD (Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Lebak. Bangunan ini kemudian dipugar pada 2016 untuk dijadikan Museum Multatuli hingga saat ini.